Surat 23

64 11 0
                                    

(Andam's POV)
*
*
*


Sudah beberapa hari ini, aku tak melihat Gema ikut rombongan. Yodha bilang, anak itu berangkat duluan karena harus mengerjakan sesuatu. Mengerjakan apa memangnya sampai harus berangkat sangat pagi?

Anehnya, bukan cuma tak ikut rombongan. Setiap jam istirahat pun, aku tak menemukan dia bergabung dengan Kanala dan Yodha di Kantin Oranye. Apa dia sedang banyak tugas? Rasanya, akhir-akhir ini, anak IPA tidak begitu banyak latihan maupun praktik. Ke mana dia kalau begitu?

"Jadi, gimana?" Yodha membuka obrolan setelah pesanan masing-masing datang.

Kanala menyenggol lenganku.

"Hah? Apa?" Aku bergantian menatap kedua makhluk itu.

"Gimana keputusannya?" Yodha mengetuk-ngetuk meja dengan ujung sumpit mi ayam berwana merah dan hitam.

"Keputusan apa?" Aku tak paham sama sekali dengan yang dibicarakan Yodha.

Dia berdecak. Wajahnya menahan gemas.

"Itu, loh. Yang momen kamu ditembak sama Jati di SMP mereka." Sambil menuang beberapa sendok sambal, Kanala menyahut.

Aku menghentikan gerak tangan yang sedang mencampur mi ayam agar bumbu, saus, dan sambal merata.

"Enaknya gimana, ya?"

"Lah?"

Aku menatap Yodha yang kebingungan.

"Kamu suka enggak sama Jati?"

"Suka sebagai apa dulu? Kalau suka sebagai teman, ya, jelas aku suka. Dia cowok baik. Sopan juga. Aku suka dia, ya, sebatas suka sebagai teman."

"Artinya, kamu mau nolak dia?" Kanala memperjelas jawaban yang ingin kumaksudkan.

Aku mengangguk patah-patah. "Cuma, aku enggak enak. Apa, ya? Hm ... takut nyakitin dia." Bego enggak, sih? Masa iya ada cowok ganteng dan sopan menyatakan suka terus kita tolak?

"Kenapa kamu enggak suka dia sebagai teman spesial?" Yodha, dengan mi yang separuh masuk mulut, bertanya.

Aku menghela napas. "Aku enggak kepikiran untuk menjalin hal-hal semacam itu, Yodh."

"Kenapa? ABG pacaran, kan, wajar."

"Iya, sih. Cuma, aku enggak mau. Lagi pula, aku enggak punya perasaan spesial untuk Jati. Masa iya mau dipaksakan? Yang ada, aku melukai dia nantinya."

"Ya, udah. Tolak baik-baik aja. Jangan pusing-pusing."

Bicara doang, sih, gampang.

"Dia bakal benci aku enggak, ya, kalau kutolak?"

"Kalau dia dewasa, dia pasti ngerti." Kanala mengelus lembut bahuku.

"Gema kenapa, sih? Aku ngerasa dia kayak menghindar akhir-akhir ini."

Yodha mengibaskan tangan ke udara. "Enggak usah dipikir. Lagi PMS dia, makanya begitu. Entar juga normal lagi."

Kulihat Kanala malah menahan tawa.

Gema PMS? Kan, dia cowok.

***

Makan malam baru saja selesai saat terdengar ketukan pintu utama. Karena aku bertugas mencuci bekas makan dn masak malam ini, maka Ayah yang mengecek dan membukakan pintu. Tidak berapa lama, Ayah menghampiriku.

"Ada Gema, tuh. Cari Andam."

Aku menghentikan gerak tangan yang sedang membasuh piring-piring dengan spon berlumur busa aroma jeruk nipis. "Gema?"

Leaf LetterWhere stories live. Discover now