Surat 8

106 17 0
                                    

"Mami enggak pernah menceritakan itu ke siapa pun?"

Perempuan berwajah pucat pasi yang bersandar di kepala ranjang perawatan mengangguk. Tatapannya lantas terlempar ke luar jendela yang terbuka. Aroma daun pandan berkelindan dengan melati menusuk indra pembaunya.

"Bahkan ke Pak Cakra?"

Perempuan itu kembali mengangguk.

"Artinya, Mbak Andam juga tidak pernah tahu riwayat penyakit Mami?"

Untuk ketiga kali Marlian mengangguk. Tak satu pun dari mereka tahu. Marlian sengaja menyembunyikan penyakitnya dari Pak Cakra maupun Andam. Hanya Winata yang dia izinkan tahu. Ah, bukan. Winata-lah yang memergoki perempuan itu dengan penyakitnya. Winata pula yang memaksa Marlian untuk segera melakukan operasi dan membiayai semua perawatannya.

Sagita menghela napas. Tak habis pikir dengan cara berpikir sang ibu. Bagaimana bisa Marlian menyembunyikan hal sepenting itu? Ya Tuhan!

"Dokter Mahespati sudah memberi tahu Gita. Dia belum terlalu menyebar. Masih memungkinkan untuk tindakan operasi kembali."

Marlian yang kini menghela napas. Apa untungnya kembali dioperasi? Toh, sudah tidak ada apa pun atau siapa pun yang harus dia pertahankan. Kemarin, perempuan itu mau dioperasi karena masih memiliki keinginan untuk membesarkan putri semata wayangnya. Sekarang? Anak kandungnya telah pergi. Untuk apa lagi dirinya hidup? Bukankah lebih baik membiarkan penyakit itu menggerogoti sisa waktunya?

"Gita ingin Mami sembuh. Mungkin Gita bukan anak kandung Mami, tapi Gita sudah anggap Mami seperti ibu Gita sendiri. Mami adalah satu-satunya perempuan yang dicintai Papa. Seenggaknya, biarkan Sagita mengurus perempuan yang dicintai Papa." Sagita mengelus lembut punggung tangan Marlian sebelum pamit. Ada beberapa urusan yang harus dia selesaikan karena terbengkalai akibat lebih sering menemani Marlian di rumah sakit.

Begitu Sagita keluar, Marlian mengalihkan tatapan ke pintu tertutup. Bulir hangat menyembul dari kedua sudut netra dengan iris berwarna hazel. Warna mata yang tidak lazim dari kebanyakan orang di negeri itu. Tentu saja. Marlian masih memiliki darah campuran Jawa, Cina, dan Belanda. Nenek dari nenek buyutnya adalah orang asli Belanda yang memiliki warna iris seperti daun maple di penghujung musim gugur--cokelat kemerahan yang sangat cantik.

"Mami yakin, Winata pasti sangat bangga memiliki kamu, Sagita. Dia selalu memujimu setiap kali kami bertemu. Bahkan enggak segan membandingkan kamu dengan Andam." Marlian mengembuskan napas. Melepas sesak yang masih saja mengimpit.

Kepergian Andam telah mematikan semangat hidupnya. Namun, kalimat yang diucapkan oleh putri sahabatnya memantik api kecil dalam kesadaran Marlian.

Haruskah dia menuruti keinginan Sagita?

***

"Ayah, Andam mau beres-beres rumah. Kamar Ayah mau sekalian Andam beresin? Siapa tahu selama ini Ayah malas membersihkan sampai-sampai tumpukan nota-nota pelanggan dibiarkan menghuni sudut kamar." Wanita itu menyeringai, melongok dari pintu dapur sebelum meneruskan mengolah sarapan.

"Dengan senang hati Ayah mengizinkan. Tahu saja selama ini Ayah malas beberes." Pak Cakra yang sedang membaca koran di ruang makan membalik tubuh untuk menengok Andam. Kerlingan jail terkirim untuk anak semata wayangnya.

Andam berdecak. "Kemalasan yang tidak pernah berubah."

"Ayah sudah tua, Andam. Sudah enggak begitu sanggup beberes rumah sebesar ini."

Alasan. Mengurusi kios seorang diri saja masih bisa. Puluhan tahun berbisnis tanaman hias, Pak Cakra belum sekalipun memiliki asisten atau karyawan yang membantunya. Semua urusan tanaman di kios, beliau sendiri yang handle.

Leaf LetterWhere stories live. Discover now