Milk

6 2 2
                                    

"Ace. Teman-teman."

Mereka menoleh ke belakang. Sesi pulang sekolah hari ini cukup langka. Di mana mereka semua berkumpul dan berjalan bersama. Berjalan-jalan lebih tepatnya, tak langsung kembali ke rumah.

"Aku sudah memutuskan."

Semua perhatiannya penuh pada si gadis. Pembicaraan ini akan menentukan segalanya. "Aku ingin mengenal diriku lagi. Aku ingin menggali dan mengembangkan bakatku. Aku ingin melakukan hal-hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
Semuanya tersenyum. Keputusan yang baik, sebelum Nafa kembali bersuara dengan senyum tipisnya. "Tapi, aku juga ingin memenuhi perkataan orang tuaku tentang pindah ke luar negeri."

"Hah?!"

"Maksud lu gimana?!"

Kaget, panik, dan kebingungan. Itu ekspresi yang muncul dari orang-orang di sana. Melangkah mendekati Nafa, meminta penjelasan. Yang diminta penjelasan hanya tersenyum, dia tahu jika mereka semua mendengarkan. Tidak ada pengulangan.

"Naif, lu, Naf. Berpikir untuk membahagiakan semua pihak itu pikiran yang terlalu naif," komentar Ace, yang memasang wajah tak senangnya.

"Iya, aku tahu. Kau yang mengajariku, Ace. Aku tahu kok, kalau diam-diam kau juga berharap aku membalas perasaanmu. Meski kau berkata jika itu tak penting. Tapi, kau ingin egois. Jadi, aku akan egois kali ini."
Nafa memiringkan kepala. "Nggak boleh, ya?"

Itu bukan pertanyaan. Tidak ada raut kebingungan di wajah Nafa, dia justru tersenyum. Memaksa mereka lebih tepatnya.

"Kebangetan, lu. Mentang-mentang diminta egois aja malah bablas." Dragon menggelengkan kepala.

"Salah kita juga yang ngajarin kalau boleh punya keinginan yang konyol sekalipun. Haah, aku berasa liat MC anime," keluh Mike sedikit mengingatkan tentang pembicaraan mereka di kafe waktu itu.

Nafa hanya menyengir tanpa dosa.

"Nafa. Lu yakin kan dengan pilihanmu kali ini?" Citra menatapnya dalam, berkata serius. Nafa pun mengangguk yakin. "Okey, gue dukung. Kalau suatu saat seandainya lu merasa salah ambil keputusan, jangan salahin diri lu sendiri. Bilang aja ke gue. Nanti kita cari solusinya sama-sama."

Nafa terenyuh. Inilah yang membuatnya betah menjadi sahabat Citra. Dia tidak menghakimi, dia tidak menyalahkan. Hanya memberi saran dan mendukung apapun pilihannya. Dia berhamburan memeluk sahabatnya itu. Menyiratkan kegembiraannya.

"Tentu, Aisyah."

"Berhenti panggil gue dengan nama itu!" Citra melepas pelukan, menyorot galak. Nafa hanya terkekeh, lagi dengan ekspresi tak berdosa.

"Kenapa sih?" tanya David tak mengerti. David tak masalah dipanggil nama belakang atau nama depannya. Sama saja, kan namanya juga.

Citra menyorot galak, seperti biasa. "Aisyah atau Citra kan lu juga. Kalau dipanggil David gitu wajar ngamuk."

"Gue cuma nggak suka. Puas?!" ketus Citra menghentakkan kakinya. Menginjak sepatu David lalu pergi dengan langkah menggebu-gebu. David pun menyusul, meneriaki nama Citra dengan menahan rasa sakit.

Yang lain tertawa melihat interaksi keduanya. Tak lama, mereka ikut beranjak. Kecuali dua orang. Membuat langkah Dragon terhenti. "Kalian ngapain?"

Mike ikut menyorot ke belakang. Ace diam sejak tadi, ada yang berbeda. "Duluan aja," pintanya masih berdiri dan berhadapan dengan Nafa.

"Aku pengen ngomong sesuatu sama Ace," imbuh Nafa tersenyum. Keduanya lantas menunggu Dragon dan Mike yang berjalan menjauh.

Ace masih terdiam seribu bahasa. Namun, tatapannya terluka. Dia frustasi, ingin berteriak, mencegah gadis di depannya itu bertindak sembrono. Jika Nafa egois, Ace juga ingin egois.

"Mau duduk di sana?" Nafa menunjuk sebuah bangku di pinggir jalan. Mereka terlalu lama berdiri di trotoar. Menghalangi orang lain di tempat umum jelas bukan tindakan yang baik.

Pemuda itu hanya menurut dalam diamnya. Bahkan ketika mereka duduk, Ace masih membisu. Nafa menatapnya lekat-lekat, menyadari perubahan Ace. "Kau marah?" tanyanya hati-hati.

Ace menggeleng, tapi dalam sedetik dia mengangguk. Entahlah, Ace merasa bingung. Dia harus marah kepada siapa? Kepada Nafa yang memutuskan seenaknya? Atau pada perasaannya yang semakin menggila? Agh, Ace sudah gila sejak pertemuannya dengan Nafa.

Gadis itu menarik tangan Ace, mengenggamnya. "Jujur saja, Ace. Kau sering memintaku begitu dulu, kalau kau lupa."

Sudah digenggam, tak mungkin Ace lepaskan. Justru, dia semakin mengeratkan. Tak ingin melepaskan, apalagi merelakannya pergi. Tidak, itu tidak akan pernah Ace lakukan.

"Gue nggak mau lu pergi, Naf," ucapnya pada akhirnya. Dengan tatapan sendu yang tertutup karena dia menunduk dalam.

"Aku juga nggak mau pergi." Nafa mengangkat dagu Ace, memaksa pemuda itu melihat ke arahnya. "Tapi, aku harus. Aku harus pergi, Ace. Aku tak bisa tetap tinggal dan membuat semuanya menderita."

"Tidak ada yang menderita karena lu, Naf. Yang ada karena orang tua gila itu," geram Ace lebih pada dirinya sendiri yang tak berdaya.

Nafa terkekeh. Tawa yang Ace sukai dan mungkin akan dia rindukan. "Kenyataannya, semuanya menderita. Kau bahkan sampai lebam-lebam dua kali. Aku dengar Citra juga bertengkar dengan Lee. Dragon dan Mike ikut terseret. Sudah terlalu banyak korban, aku tak ingin menambahnya lagi."

Gadis itu menghela napasnya berat. Siap mengeluarkan kata yang dirinya dan Ace tak ingin dengar. "Ka ... Karena itulah, aku harus pergi," gagapnya nyaris menghilangkan suaranya agar tidak terdengar menyakitkan bagi siapapun yang mendengar.

"Kalau kita bunuh aja orang tua lu bagaimana?"

Nafa tertegun sejenak. Ace sudah gila, atau lebih terpatnya, gila karenanya. Karena rasa cintanya.

"Dan menjebloskanmu di penjara? Kurasa itu jauh lebih buruk," kata Nafa setelah berdeham. Ace hanya terdiam, Nafa benar adanya. Rasionalnya benar-benar menghilang sekarang.

Dia hanya ingin Nafa. Ace hanya ingin Nafa di dekatnya, di sampingnya, seperti biasanya. Ah, padahal mereka hanya berkenalan selama satu semester, cukup percaya diri jika menyatakan jika kebersamaannya mereka termasuk sebuah kebiasaan.

"Kita lemah, Ace. Aku lebih tepatnya. Aku tak mungkin bisa menang jika diminta melawan. Apalagi mereka adalah orang tuaku. Orang dewasa yang jauh memiliki kekuatan di atasku. Statusku masih anak-anak di mata hukum. Seberapa banyak kekuatan yang aku kumpulkan, kekalahan hanya akan menyambutku. Karenanya, aku hanya bisa pasrah. Aku hanya mampu memakan umpan dan jebakan yang mereka persiapkan. Menjadi korban yang mudah ditaklukan."

Nafa menatap Ace sekali lagi. Memberikannya senyum, menyatakan jika dia baik-baik saja. "Hingga pada akhirnya, saat mereka berpikir sudah menaklukanku, disaat itulah aku melawan. Memanfaatkan celah, mencari peruntungan untuk menang."

Ace berkedip beberapa kali, memulai memproses. Hingga dia akhirnya memahami. "Lu?!" kagetnya.

"Kau berpikir aku akan diam selamanya? Aku juga muak, tahu! Ditambah kini aku memasuki masa remaja. Waktu seorang anak mulai memberontak pada orang tuanya. Jadi, semua itu wajar," kata Nafa mengibaskan tangan.

Ace mendekat. Memeluknya dan mendaratkan kepalanya pada pundak Nafa. Terkekeh sejenak, dia merasa bodoh sekarang. "Tidak. Sudah suatu keharusan lu melawan. Melepaskan diri dari tali jerat mereka. Meski mereka orang tua kandung lu."

Nafa membalas pelukannya. Mengikis jarak mereka dan semakin erat. "Karena itulah. Bersabarlah, aku mungkin pergi. Tapi, aku pasti akan kembali."

"Harus. Lu harus kembali. Kalau nggak, gue seret lu buat balik!" ancam Ace.

"Ace," panggil Nafa sekaligus melepas pelukan mereka. Keduanya bertukar tatapan untuk waktu yang cukup lama. Sebelum Nafa mendekat dan memberikan hal yang tak pernah Ace sangka.

"Aku mencintaimu." Nafa memberikan kecupan di pipi sebagai bukti.

Sekaligus, salam perpisahannya.

***

Bau-bau ending:v
Sad? Or happy?

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora