Instant Noodles

15 3 0
                                    

Nggak jadi nasi goreng wkwkwk
Selamat membaca!

***

"Waw! Itu tadi luar bisa bagus!"

"Aku bisa merasakan penderitaan Juliet karena ditinggal Romeo."

"Bener. Padahal udah tahu ending-nya. Tapi, yang tadi bikin mewek. Kok bisa sih? Kan lu cowok."

Pemuda yang dipuji-puji itu malah menyengir. Warna semu merah memenuhi pipinya, sudah lama dia tak diberi pujian. Padahal, awalnya Ace ragu, karena ini pertama kalinya dia memerankan tokoh wanita. Ternyata, hasilnya memuaskan. Sangat malah.

David tersenyum lebar. Memberinya tepuk tangan, "Gue nggak bisa ngomong apa-apa. Akting lu luar biasa! Pantas Nafa merekomendasikan," pujinya merangkul pundak Ace yang tingginya tak jauh darinya. "Gue nyesel karena ngerjain lu tadi. Malah lebih bagus! Sialan, ya!"

"Anjir. Udah gue duga lu ngerjain gue! Makan tuh!" decak Ace melempar tangan yang menyentuh pundaknya. Tak puas, dia juga melempar naskahnya tepat mengenai wajah David.

"Udah kurang ajar, ya sama ketua. Lu belum anggota resmi juga. Nggak gue terima baru tahu!" David nampak tersenyum. Bukan senyum bahagia, karena terlihat jelas perempatan otot di dahinya.

Ace membalasnya dengan wajah mengejek. "Yakin nggak mau nerima? Ya, gue nggak apa, sih. Tapi, bisa aja lu nyia-nyiain kesempatan. Pentas seni, tiga bulan lagi, kan?"

Sialnya, Ace benar. Terlalu sayang untuk diabaikan. Bakat Ace diperlukan sekarang. Apalagi saat ini kelas tiga sudah tidak membersamai. Ace datang bagaikan oasis di padang gurun.

David pun mengalah. "Iya-iya. Lu diterima!"

***

"Selamat, Ace! Keren banget tadi, harus dirayain. Aku traktir gimana? Kamu mau apa, Ace?"

Tawaran yang menarik. Ace tampak berpikir, sebelum akhirnya memutuskan sebuah tempat untuk mereka kencan. Dia tersenyum penuh arti, membiarkan pertanyaan Nafa mengambang di udara.

Setelah membantu bersih-bersih, keduanya berpamitan kepada yang lain. Beberapa anggota, khususnya kelas dua seperti David memilih untuk tinggal lebih lama. Mengurus pergantian pengurus yang akan diadakan sebentar lagi. Sedangkan kepengurusan OSIS sudah mulai tahap akhir. Tinggal pemilihan ketua OSIS yang baru.

Nafa membenarkan ikatan rambutnya yang sedikit longgar. Akibatnya, rambut hitam itu bergerak lembut mengikuti pergerakan tanya sang empu. Ace yang berdiri di sampingnya dapat mencium bau shampo milik Nafa.

"Shampomu beraroma jeruk, Naf."

Gadis itu terhenyak. Sedikit kaget dan gugup. "E-eh? Kamu bisa menciumnya?"

Ace tertawa lepas saat melihat gadisnya mencium rambut miliknya sendiri. Pemuda itu ikut-ikutan menyentuh helai rambut itu. Begitu lembut bagaikan sutra. Tidak ada warna kemerahan di sana meski sering terkena sinar surya.

"Aku suka rambutmu, Naf," kata Ace dengan masih mengelus rambut itu dan menciumnya lebih dekat. Ah, aku menyukai segala tentangmu. Lanjutnya dalam batin.

"Jangan!" teriak Nafa cepat menarik rambutnya ke belakang. Dia menarik tubuhnya mundur hingga menyentuh tembok kelas. "Rambutku jelek, iih! Ibuku saja sering bilang kalau rambutku terlalu lepek dan bau apek. Makanya setiap hari aku pergi perawatan."

Ace tersenyum sendu. "Memangnya ibumu pernah memuji sesuatu darimu, Naf?"

***

Suara klakson menyambar ke udara. Angin ikut turut ambil menguasai langit. Menghalau semua awan agar pesona senja tidak ada yang melewatkannya. Dedaunan yang mampu menahan godaan angin akhirnya jatuh juga. Menyapa tanah yang tak pernah mengeluh walau diinjak.

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]Where stories live. Discover now