Yellow Rice

6 1 0
                                    

"Kenapa?"

Ace bertanya dengan nada frustasi bercampur pasrah. Mungkin dia sudah menduganya akan berakhir seperti ini juga. Hal itu membuat Nafa tak tega. Apakah dia akan menyakiti orang lain lagi? Kenapa siklus ini tidak juga berubah?

"Kau tak melakukannya karena rumor itu, bukan? Kau merasa bersalah karena semua ini akibat keegoissanmu? Dan akan baik-baik saja jika kita berpisah. Karena takdir kita memang tidak untuk bersama? Jika iya, aku akan benar-benar marah padamu, Naf."

Terlambat. Batin Nafa mengiyakan semua perkataan Ace. Setelah mengigit bibir sekuat tenaga, Nafa mengabaikan lara yang diderita benaknya. Tak apa, semuanya akan baik-baik saja. Rapalnya sebelum membuka suara.

"Ng-nggak, tuh! Pede sekali kamu. Aku ingin putus karena aku udah bisa akting. Aku berhasil menirumu, Ace Cream."

Nafa sengaja menyebut nama lengkap Ace untuk menunjukkan jika hubungan mereka ini profesional. Setelah urusan selesai, mereka akan menjadi orang asing. Ya, seharusnya begitu. Namun, seseorang mungkin bisa menjelaskan kenapa Nafa terasa menelan pil pahit? Bahkan rasanya jauh lebih pahit dibandingkan obat dari apotik.

Terdengar helaan napas yang berat dari ujung sana. Nafa mencoba abai kali ini. Demi hati dan mentalnya.

"Oke. Kalau itu yang lu mau. Kita putus," kata Ace mengubah gaya bicaranya dengan gue-lo. Ini juga keinginan Nafa, tapi sudut matanya berkedut. Tidak, gadis itu harus tetap tegar.

"Tapi, Naf." Ace menambahkan dengan sedikit jeda. "Akting lu masih jelek banget."

Tidak ada suara lagi. Ace menutupnya secara sepihak tanpa ada salam perpisahan. Tangis Nafa meledak, dia sudah tak kuat lagi berpura-pura. Kalimat akhir Ace tadi menyindirnya keras. Nafa tahu, perpisahan mereka menyebabkan lara dikedua belah pihak. Yang mungkin lebih mengangga dibanding luka-luka lainnya.

"Ma ... maaf, Ace ...."

***

"Oke. Kalau itu yang lu mau. Kita putus."

Hembusan udara yang cepat nan berat itu keluar dari mulut seseorang. Suara deru kendaraan dan ramainya dunia luar tidak terdengar berkat mobil yang tertutup rapat. Suara radio yang memperdengarkan pertunjukan komedi. Namun, saat lawakan keluar, tidak ada satupun suara tawa yang terdengar.

Bukan pasal gurauannya yang tidak basah, hanya saja suasananya yang tidak mendukung. Ace menyadari hal itu.
Semenjak ponselnya dia matikan, keheningan itu terasa begitu mencengkam.

"Apa?" tanyanya tak tahan lagi.

"Nggak. Gue lagi mode kalem, ya. Jangan dipancing," ingat Lisa kali ini tanpa ekspresi.

"Santuy. Yang biasanya mancing masalah kan situ."

Lisa ingin meremukkan tubuh abangnya yang sudah remuk itu. Namun, kembarannya menghentikan. Lita yang duduk ditengah keduanya dengan mudah melerai pertikaian. Mereka kini berada disebuah mobil taksi. Adik-adiknya yang baik hati menjemputnya pulang.

"Abang yakin?"

"Soal?" tanyanya sok tak tahu pembicaraan. Beruntung adiknya yang satu ini jauh lebih sabar dibanding Lisa.

"Mbak Nafa. Abang mau menyerah gitu aja? Kan cuma lecet."

Serius, Lita menganggap luka memar dan beberapa goresan di tubuh Ace hanyalah luka lecet? Mungkin besok Ace harus memintanya memeriksa matanya. Ada yang salah di pandangannya. Lagipula, dia dan Nafa benar-benar selesai.

Kisah mereka cukup sampai di sini.

"Hmm. Orang yang diperjuangin aja ogah-ogahan. Ngapain semangat. Udah lelah tenaga, mental, batin, nggak dapet apa-apa lagi. Gue capek. Dua kali dibuat babak belur. Dan dua kali gue terluka cuma karena gue bucin sama cewek. Jatuh di lubang yang sama aja lebih rendah dari binatang. Harga diri gue turun kalik ya, didiskon sekalian, haha."

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]Where stories live. Discover now