Tea Party

7 2 0
                                    

"Ini apa?!"

Gadis itu mematung. Lembar kertas ulangan bahasa Inggrisnya berada di depan mata. Ulangannya yang mendapat nilai nol akibat ulah Melinda. Dia pikir sudah memusnahkannya. Tak Nafa sangka, kertas itu justru berada di tangan ibunya.

"Ehm ... Wa-waktu itu ada masalah--"

"Alasan!" potong Diva cepat. Membuat nyali Nafa semakin menciut. Tangannya meremas ujung kaos biru yang dia pakai. Matanya tertutup, menahan air yang hendak keluar.

Diva, selaku ibu Nafa terus memaki bahkan mengumpatinya. Tak mempedulikan keadaan mental putrinya atau pun sekitarnya. Dia memang tak main tangan, tapi perkataannya jauh lebih menyakitkan dibandingkan sayatan darah.

"Kamu bego apa gimana sih? Masa bisa dapet nol? Nol, loh! Otakmu isinya udara, ya? Anak TK aja nggak pernah dapet nol," lanjut wanita tua dengan tatapan marah bercampur tak percaya.

Anak TK yang dimaksud tak lain adalah Nafa sendiri. Dia memang pintar sejak dulu, tidak pernah dalam hidupnya di bangku sekolah, gadis itu mendapat nilai dibawah rata-rata. Kecuali waktu itu. Namun, apakah Diva hanya melihat nilainya tanpa melihat jawabannya?

"Ma-maaf," cicit Nafa semakin mengecil.

Karena hal inilah dia tak pernah mengatakannya pada orang tuanya. Mereka bukannya memihak padanya, yang ada malah menyerangnya balik. Nafa dituntut menjadi pribadi yang mandiri. Tak ada satupun yang memihaknya. Dia hanya sendiri, menjadi gadis yang kuat yang tak memerluhkan bantuan siapapun.

Kemarahan Diva mencapai puncaknya. Dirobeknya kertas itu di depan Nafa dan meninggalkan putrinya itu. Tak lama kemudian, dia kembali dengan setumpuk buku dan melemparkannya ke arah Nafa. Tak peduli apakah itu mengenai wajah atau bagian tubuh yang lainnya.

"Pelajari itu hari ini! Kamu nggak boleh keluar sebelum selesai mempelajari semuanya! Bocah bodoh sepertimu jangan mengharap bisa tidur. Inget, di sini ada CCTV," peringat ibunya sebelum membanting pintu lalu mengerang di balik pintu sana. Menceritakan jelas kepada sang suami yang baru saja pulang.

Nafa, gadis malang itu semakin bergetar. Tidak, jangan ayahnya juga. Di saat tubuhnya mulai bergetar dan melangkah mundur, pintu kembali terbuka. Memperlihatkan sosok pria dengan kemeja kantornya.

"A-ayah ...."

Ayah Nafa terdiam. Tangan besarnya menarik sang putri keluar kamar. Nafa ingin memberontak, tapi tak mampu. Dia diseret menuju ruangan paling gelap di rumah itu. Ruangan yang sebenarnya tak ingin Nafa masuki lagi seumur hidupnya.

***

Ace, lelaki yang masih berdiri di balkon itu mulai mengigit jari. Dia mendengar semuanya. Lontaran suara seorang wanita yang menggema itu. Namun, perasaannya semakin buruk ketika tak mendengar suara apa-apa lagi.

"Naf, ayo angkat," gumamnya menempelkan benda pipih itu di telinga. Ace masih mendengar handphone milik Nafa yang berbunyi di kamar sana, tapi kenapa gadis itu tak mengangkatnya? Apakah dia sudah tak ada di kamar?

Ace mengerang. Menatap penuh khawatir kamar yang hanya tertutup gorden itu. Nafa menuruti permintaannya untuk tak menutup pintu. Alhasil, Ace bisa mendengar semua itu.

"Sial! Harusnya gue nggak balikin kertasnya itu. Gue bakar aja sejak awal! Sialan!" makinya pada dirinya sendiri.

Ace merasa bodoh. Kenapa dia tak terpikirkan tentang hal itu. Dia hanya mengembalikannya dengan dalih itu milik Nafa yang seharusnya memang tak dia simpan. Bodoh, Ace yang menyebabkan hal ini semua.

Jika terjadi sesuatu pada gadisnya, Ace tak mungkin memaafkan dirinya sendiri seumur hidupnya. Kalau begini, apa bedanya Ace dengan 'dia'? Bukannya 'dia' juga melakukan hal yang sama padanya? Menyakitinya dengan berlindung dibalik kata cinta.

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن