Ice Tea

11 4 0
                                    

"Mak! Denger nggak, sih? Abang punya pacar-- hmmp!"

Ace secepat kilat berlari menyusul sang adik dan membekap mulut toaknya. Benar-benar tidak feminis. Suaranya begitu berat bahkan sering disangka lelaki jika hanya mendengar suaranya. Pernah suatu ketika dia mengangkat panggilan dari ponsel Ace dan mengaku sebagai pacarnya. Alhasil, dia diolok homo oleh teman sekelasnya.

Oke. Lupakan masa lalu yang memalukan itu. Selama Lisa masih hidup, Ace tak akan pernah tenang. Gadis itu kini memberontak dan menyikutnya dari belakang. Tak usai, dia juga menginjak kaki abangnya tanpa bersalah.

"Aduh! Sial, sakit, woe!"

Lisa membalas lebih galak. "Abang duluan! Pegang-pegang sembarangan, najis tahu nggak!"

"Hus, Lisa!" Suara lain menginterupsi. Tatapannya menyeramkan hingga membuat kedua anak muda itu terdiam seketika. Ace sampai menahan ringisannya karena takut. Wanita tua yang membesarkannya selama ini memang membuat semua orang bergedik takut.

Bahkan Nafa yang diam-diam menyusul dari belakang pun menghentikan langkah. Menahan diri untuk tidak menelan ludah atau berkedip.

"Eh, tadi apa? Kakak bawa cewek? Mana?" Wajah sang ibu langsung melunak. Perubahan hatinya selalu tiba-tiba. Wajahnya melengok ke belakang anaknya. "Ya ampun. Cantik sekali! Siapa namamu?"

"Eh?" Nafa menoleh ke arah Ace. Kebingungan dengan situasi yang terjadi.

***

"Silakan, Nak Nafa. Kalau butuh apa-apa, bilang aja, oke? Tante tinggal dulu, ya?"

Usai mengenalkan diri dengan bantuan Ace tentunya, Nafa sudah mulai tenang dengan sikap ibu Ace. Dia juga hanya mengangguk seraya tersenyum saat dihidangkan es teh dan beberapa cemilan.

"Sorry, ya, Naf."

Nafa menggeleng. "Keluargamu lucu, ya. Tapi, aku nggak lihat adikmu yang satunya."

"Lita? Dia mah jam segini juga masih di perpus. Tipikal anak teladan. Nggak kayak kembarannya yang mirip dajal," omel Ace duduk di kursi belajarnya. Sedangkan Nafa duduk di atas karpet berwarna biru.

Nafa terkekeh. Dia tahu Ace tak sepenuhnya serius. Pemuda itu pasti menyayangi kedua adiknya. Pandangan Nafa memutari kamar Ace. Sejujurnya, ini kali pertama dia masuk ke kamar cowok. Begitu minimalis dan tak banyak barang di sana. Di dominasi pernak pernik es krim, ciri khas Ace.

Akhirnya, perhatiannya terpusat pada gorden milik Ace. Dari tempat duduknya, Nafa bisa tahu kalau pemandangan yang di sajikan begitu menawan. "Pemandangan dari lantai dua memang tiada dua ... nya."

Perkataan Nafa terhenti sejenak. Kedua matanya bergetar, terkejut melihat rumahnya yang tepat di samping rumah milik Ace. Namun, yang jauh lebih membuatnya kaget adalah dia bisa melihat kamarnya sendiri dari situ. Piala yang dia hancurkan kemarin pun tergeletak jelas di balkon kamarnya.

Nafa menoleh cepat ke arah Ace. Pemuda itu terdiam. Memilih agar Nafa sendiri yang memahaminya. "A-Ace. Selama ini, ka-kau tahu?"

Gadis itu memundurkan diri hingga tubuhnya menyentuh pembatas. Nafa tak menyangka. Rahasia selama ini yang dia tutup-tutupi terbongkar saat dia sendiri tak mengetahuinya. Nafa memang selalu abai jika sudah masuk ke dalam rumah. Pikirannya selalu berkecamuk jika berhadapan dengan orang tuanya.

Oleh karena itu, dia tak pernah memikirkan perihal tetangganya.

Ace berdiri. Mungkin memang inilah saatnya. "Iya, aku tahu. Ada alasan lain kenapa aku mengajakmu pacaran. Sama sepertimu, Naf. Kita sama-sama menjalin hubungan yang tidak hanya didasarkan oleh cinta."

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें