Macaroon

4 1 0
                                    

"Apa aku emang membawa sial, ya?"

Seorang gadis bermonolog. Rambut hitam panjangnya kini tergerai. Hanya terdapat jepit berbentuk chocochips di dekat poninya. Sedikit merapikan rambutnya yang senang sekali bermain dengan angin. Dia hanya menggunakan riasan biasa. Pakaiannya pun hanyalah gaun hijau muda yang panjangnya di bawah lutut dengan jaket putih.

Tatapannya mungkin mengarah ke jalan, tapi pikirannya berada di lain tempat. Memikirkan hal yang menimpanya dalam tujuh belas tahun hidup di dunia.

"Orang di sekitarku sering terluka berkatku. Aku sama sekali tidak membawa kebahagiaan, ya?"

Lagi, dia berbicara sendiri. Melupakan pandangan orang yang sering terkecoh dengan penampilan ayunya. Sepatu putih hijaunya tiba-tiba terhenti. Tubuhnya menyerong ke sebuah bangunan yang membuat matanya melebar. Dadanya sesak, sel memorinya melempar segala kenangan yang pernah tercipta.

"Ke ... kenapa aku malah ke sini?" gumamnya dengan nada bergetar.

Kakinya kaku. Tak ingin digerakkan. Gigi-giginya pun mengeluarkan bunyi kecil sebab saling membentur.

"Lu!"

Ah, akhirnya tubuhnya bergerak. Lehernya menolehkan wajah agat kembali melihat ke depan. Namun, getaran tubuhnya justru semakin menjadi. "Lu ngapain?!"

Seorang gadis berjilbab menunjuknya dengan tatapan marah. Wajah yang cantik itu terhalangi urat kemarahan yang tercetak jelas di sana.

"Hanna ...."

***

"Maaf ...."

"Untuk apa?"

Nafa tersentak. Suasana itu kembali canggung. Nafa memegang erat tas selempangnya. Bukan karena takut dimaling, tapi hanya untuk menghalau rasa gugupnya. Yang masih saja menyelimuti meski sudah duduk di pekarangan selama sepuluh menit.

Bangunan bercat putih itu sama sekali tak berubah sejak sebelas tahun silam. Nafa justru melihat catnya yang baru. Anak-anak di sana pun bermain dengan riangnya. Sesekali melempar senyuman ke arahnya. Ah, ke arah sosok di sampingnya kini.

"A-aku nggak bermaksud ke sini. Tadi aku jalan-jalan lalu tanpa sadar ...," bela Nafa entah untuk apa. Padahal gadis di sampingnya tak mengatakan hal yang menyudutkannya.

"Gue juga minta maaf." Suara lembut itu keluar, "Gue nggak seharusnya semarah tadi. Untung Bu Nia cepat datang," lanjutnya. Saat mempergoki Nafa, Bu Nia meminta mereka berdua masuk ke dalam.

Nafa tersenyum canggung, akhirnya menatap wajahnya. "Nggak apa kok. Sudah sewajarnya kau marah padaku. Soalnya berkat aku, kamu kan berakhir di sini lagi," sesalnya merasa bersalah.

"Apa? Gue malah seneng kok. Di panti jauh lebih bikin gue bahagia. Bersyukur banget gue bisa keluar dari rumah sesat itu."

"Eh? Tapi, bukannya ... kamu waktu itu--"

"Marah?" Nafa mengangguk. "Jelaslah. Siapa yang nggak marah, mengetahui bahwa gue diadopsi cuma buat pengganti. Dipaksa menjadi sempurna dibalik kakak yang tidak bisa dilampaui. Saat tahu kalau rusak, mereka membuangnya begitu saja. Dikira manusia itu barang, apa?"

Nafa tertunduk. Iya, dia adalah adik angkatnya, dulu. "Maaf ...."

Gadis berjilbab merah maroon itu menyikut tangannya. "Bukan salah lu, Kak."

"Ta-tapi, kalau nggak ada aku. Kamu nggak bakal semenderita ini. Kamu bisa hidup sebagai anak dan bahagia dengan keluarga yang lengkap. Bukan kembali ke tempat in--"

Hanna menghentikan ucapan Nafa dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Kak, lu lagi ada masalah, ya? Kak Nafa yang gue kenal nggak gini. Ada apa?"

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang