Candy

4 1 0
                                    

"Aku sudah mengurus semua keperluannya. Kau akan tetap pindah, Nafa."

Gadis itu langsung disuguhkan kalimat dingin dari ayahnya. Padahal baru saja dia akan menyapanya di hari yang sore ini. Nafa tebak, Putra pasti tahu jika sore ini dia membolos les untuk bertemu teman-temannya.

Dia hanya mengangguk lemah. Tak berani melawan, seperti biasanya.

Saat melangkah pada tangga, gantian Diva yang muncul. "Kau harus tetap mendapat nilai seratus, loh ya. Jangan gunakan alasan jika kau kerepotan untuk pindah! Kau dengar, bukan?!"

Nafa memasang senyum manisnya. "Iya. Aku dengar, Ayah, Ibu."

Garis melengkung itu memudar ketika dia menutup pintu kamarnya. Nafa melempar tasnya sembarangan, membuat retsleting tasnya terbuka dan memuntahkan segala isinya.

Gadis itu melepas tali kucirnya dan melirik ke arah tasnya tadi. Terdapat sebuah kertas yang menarik perhatiannya. Kertas yang seharusnya dibanggakan, tapi apalah daya. Di hadapan orang tuanya, kertas penghargaan itu tak ada bedanya dengan kertas biasa.

Nafa memilih abai dan menubrukkan diri pada kasur. Menghela napas panjang di bantal lalu memeluk guling. Pikirannya menerawang, terlebih pasal pertemuan dengan teman-temannya.

"Tapi, aku tak tahu apa yang kuinginkan."

"Ya udah, mulai sekarang lu harus bikin keinginan."

Nafa mendongak pada mantan pacarnya. Tak hanya Ace, semua yang ada di sana juga tersenyum tipis padanya.

"Bener juga, kalau nggak punya mimpi, ya tinggal buat mimpinya. Kenapa bingung?" timpal Mike.

"Ta-tapi ...."

"Malu karena udah besar?" tebak Citra yang membaca raut keraguan di wajah Nafa. "Ck. Nggak usah dipikirin. Emangnya yang boleh bermimpi, yang boleh punya keinginan cuma anak kecil? Gue aja sering banget denger Abi yang pengen nyemir rambut anaknya jadi hitam."

"Lho, jangan. Lu cantikan rambut putih," protes David. "Soalnya mirip nenek gue." David pun dihadiahi lemparan garpu atas pujiannya.

"Gue juga, kadang pengen jadi anak perempuan aja," celetuk Dragon tiba-tiba. Membuat mereka semua terkejut, kecuali Mike yang sepertinya sudah tahu.

"Kalau aku pengen masuk isekai." Tatapan mata ke arah Mike berubah seketika. Datar, ditambah celotehnya yang ingin bertemu elf, bangsa manusia setengah kucing, dan lain sebagainya.

"Gue sih pengen jadi brandalan. Tapi, pinter. Biar nggak usah belajar." David tersenyum miring di akhir kalimatnya.

Kini, giliran Citra. "Gue pengen hidup seperti orang biasa. Tanpa tatapan penasaran ataupun kasihan. Mungkin, kalau udah lulus, rambut putih gue bakal gue semir jadi pirang," katanya menyentuh ujung rambutnya yang sering menjadi pembicaraan orang-orang.

"Kalau gue sih, pengen bahagia aja. Gue, orang tua gue, adik gue, dan semua orang yang ada di sekitar gue." Ace menatap Nafa seraya tersenyum.

"Semua mimpi nampak konyol di mata orang lain, Naf. Tapi, bukan berarti nggak boleh diwujudkan. Justru karena kekonyolannya itulah hal itu dikatakan mimpi. Jadi, apa mimpi lu, Nafa Chocochips?"

Suara petir di luar kamarnya mengejutkan Nafa. Di terlonjak bahkan nyaris melempar gulingnya. Lamunan tentang waktu yang sudah berlalu itu terhenti. Kesadaran Nafa kembali ke masa sekarang.

Masa di mana dia mulai menentukan mimpinya.

***

Waktu lagi-lagi egois. Mengabaikan para siswa yang belum sepenuhnya siap terhadap ujian yang sudah di depan mata. Bukan ujian hidup, tapi ujian tertulis dari sekolahnya. Yang rasanya bisa jadi jauh lebih berat. Karena ini ujian kenaikan kelas, salah satu hal yang menentukan mereka pantas naik atau tetap tinggal.

I Want To Stop Being Nafa [END MASIH KOMPLIT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt