Bianca tersentak mendengar jawaban itu. Dia kembali menitikkan air mata.

"Bokap lo kemana? Biasanya dia, kan, yang selalu ngurusin masalah kakak lo kayak waktu nusuk gue waktu itu," tanya Manggala lagi.

Dia jadi teringat kalau laki-laki itu pernah menusuknya dan mau menyelakai gadisnya. Bahkan, Mahen juga dalang dari semua masalah yang membuat hidup Gista menderita. Jadi, untuk apa ia menolong orang jahat yang sudah terbukti bersalah?

Bianca merunduk. "Bokap gue udah nggak peduli sama Kak Mahen karena  tahu dia make, Gal."

Manggala membuang napas. "Itu karena bokap tiri lo tahu kalau kakak lo emang harus direhabilitasi. Kalo nggak dia bakalan lebih parah dari sekarang."

"Tapi, gue nggak punya siapa-siapa lagi selain Kakak gue, Gal. Bokap tiri gue bakalan kerja ke luar negeri. Gue nggak mau sendiri. Gue nggak mau ditinggal sama kakak gue," adu Bianca  diiringi isak tangisnya.

Manggala memijat pelispinya sembari menatap Bianca. "Bi, kalo kakak lo itu nggak salah mungkin gue bisa bantu. Tapi, di sini dia terbukti make, Bi. Dia harus direhabilitasi," terangnya berusaha memahamkan Bianca.

Bianca membalas tatapan Manggala dalam diam.

"Udah lo tenang aja kakak lo bakalan baik-baik aja kok. Biarin dia nerima hukuman ini supaya dia sadar kalau apa yang dilakuin itu salah. Biar Bang Mahen juga merenungin diri kalau dia udah punya banyak salah sama Gista," ujarnya menarik Bianca yang makin terisak ke dalam pelukannya.

Hati Manggala selalu terenyuh melihat tangis perempuan. Walaupun Mahen itu jahat dan Bianca ikut andil di dalam kejahatan itu. Tapi, ia tidak boleh membalas kejahatannya dengan kejahatan. Ia tahu saat ini yang Bianca butuhkan adalah dukungan.

Di sisi lain mungkin dengan cara memberi dukungan dan semangat untuk gadis ini sedikit demi sedikit ia bisa menyadarkan Bianca agar tidak terus menerus menaruh dendam pada Gista.

Bianca langsung membalas pelukan itu dengan erat. Ia tidak mau kehilangan kesempatan dan momen langka seperti ini. Seorang Manggala yang ia kagumi sejak lama memeluknya tanpa paksaan. Bianca harus memanfaatkan kesempatan ini baik-baik.

"Setiap perbuatan itu ada akibatnya, Bi. Mungkin ini teguran dari Tuhan atas apa yang diperbuat sama kakak lo selama ini," ujar Manggala mengelus punggung Bianca seirama bermaksud untuk menyalurkan kekuatan pada gadis yang terisak itu.

"Lo harus kuat. Hidup lo harus tetep berlanjut, Bi," pesannya.

Bianca mengangguk lemah dan makin  menenggelamkan kepalanya di dada bidang Manggala. Meskipun ia tahu Manggala melakukan ini semua pasti atas dasar kasihan tidak lebih. Rasannya tetap membahagiakan.

Tak lama gadis itu berhenti menangis. Dia menyunggingkan senyum miring yang tidak mampu dilihat oleh Manggala. Di saat-saat seperti ini ia harus bisa mengatur siasat licik untuk  bisa menaklukkan Manggala. Kesempatan emas ini tak boleh ia sia-siakan. Terlebih ia tahu saat ini hanya ada mereka berdua di rumah besar ini.

Obsesi untuk memiliki Manggala yang  begitu besar membuat Bianca diam-diam menyusun rencana licik tanpa Manggala sadari.

Pokoknya hari  ini Manggala harus seutuhnya menjadi miliknya. Persetan dengan pengakuan Gista yang mengatakan cowok ini pacarnya. Apapun yang terjadi Manggala harus jadi miliknya dan hanya miliknya. Selamanya.

"Gal," lirih Bianca mencipta jarak di antara keduanya. Tangan gadis itu lalu melingkar di leher Manggala membuat si empu sedikit tersentak. Matanya makin melotot kala Bianca menyatukan kening keduanya.

"B-bi... " bisik Manggala yang tiba-tiba merasakan hawa panas di tubuhnya. Entah kenapa dia merasa gugup ditatap sedekat ini dengan Bianca. Bahkan, kini bukan hanya kening keduanya yang menyatu, tapi hidung keduanya hanya berjarak sekitar dua centi.

"Gue sayang sama lo, Gal. Gue cinta sama lo," ungkap Bianca membidik mata cowok itu tepat pada maniknya.

"Gue rela ngelakuin apapun buat lo asal lo jadi milik gue, Gal," imbuhnya mulai mendekatkan bibirnya pada bibir cowok itu.

Deg.

Seseorang yang berdiri di ambang pintu menggeleng melihat pemandangan menjijikkan di hadapannya. Tanpa banyak kata gadis  berambut sebahu yang lepek dan berantakan itu membalikkan badanya  dan pergi dari sana secepatnya yang pasti tanpa disadari oleh mereka.

Tidak peduli kakinya yang sakit karena tadi menginjak pecahan kaca di kamarnya, tangannya yang terasa perih dan masih mengeluarkan darah Gista berlari setelah keluar dari gerbang utama rumah Manggala. Niat  hati mau meminta maaf dan memintanya untuk tetap tinggal ia malah disuguhi pemandangan seperti itu.

Gista tahu Manggala itu orang baik. Dia laki-laki yang bijaksana dan sangat menghargai perempuan. Tapi, ia juga tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya apakah keduanya akan melakukan lebih dari sekadar berciuman.

Ah, membayangkannya saja membuat  kepala Gista makin pening.

Terik matahari yang menyengat membuat darah di lengan, telapak tangannya, juga kakinya mengering. Gista lantas berhenti di sebuah halte untuk meneduh dari panasnya matahari. Dia duduk di pinggir jalan lalu menekuk kedua lututnya dan menumpahkan tangisnya.

Hanya melihat keduanya seperti itu saja ia kembali merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Segala kesedihan yang berusaha ia damaikan    dengan dirinya sendiri kembali mencuat di permukaan. Memang ketika menangis karena suatu masalah. Masalah lain yang telah lewat bisa mendadak memenuhi kepala.

"Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini?" gumamnya mendongak lalu memukuli dadanya sendiri.

"Aku juga ingin bahagia, Tuhan."

Entah kemana Gista si singa betina yang paling anti menangis dulu. Gista yang sekarang adalah si gadis rapuh yang penuh luka dan kesedihan di dalam hidupnya.

****

"GALAAA! YUHUU!" seru seorang cowok berambut klimis nyelonong masuk ke rumah besar yang pintunya terbuka itu.

"Gu— astagfirullah!" pekik Anara kaget melihat pemandangan di depannya.

Empat orang cowok di belakangnya juga sama terkejutnya. Mereka mematung di ambang pintu dengan mata melotot dan tatapan tak percayanya.

Dua orang yang berada di atas sofa itu tersentak kaget.

Manggala langsung mendorong tubuh Bianca agar menjauh darinya yang sontak mencipta keterkejutan yang lebih dahsyat lagi. Di mana Bianca yang semula berpelukan dengan Manggala kini terduduk di sofa karena dorongan kasar oleh cowok itu dengan kemeja bagian depannya yang telah koyak, rambutnya yang berantakan, dan singletnya yang tersingkap menampakkan perut ratanya yang membuat mereka langsung overthinking.

Lebih parahnya lagi mereka langsung bernegatif thinking saat cowok jakung itu membalikkan badan menghadap mereka dengan warna merah di leher cowok itu. Apalagi saat  ini Manggala tampak seperti orang yang kelelahan dengan rambutnya yang acak-acakan dan wajahnya yang berpeluh.

"Kalian.... " Anara membekap mulutnya tak percaya sambil menggelengkan kepala, urung melanjutkan kata-katanya. Ia benar-benar speechless dengan apa yang baru dilihatnya.

"Gal lo—"

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon