25

608 68 1
                                    

"Sa-saya keluarga Sergio!!" Anta terbata-bata dengan linglung ia mengikuti dokter itu. Meninggalkan yang lainnya yang menatap punggung rapuh Anta dengan perasaan campur aduk.

"Silahkan duduk." Dokter lelaki berumur sekitar tiga puluh tahun itu mempersilahkan Anta duduk. Lantas Anta duduk dengan perasaan gelisah.

"Ada apa ya, dok? Apa terjadi sesuatu kepada adik saya?!"

"Sebelumnya perkenalkan saya dokter Bima dan saya dokter spesialis onkologi. Setelah pemeriksaan tadi saya menemukan beberapa hal yang belum bisa saya pastikan. Namun saya menduga bahwa adik anda mengalami kanker otak. Untuk mengetahui tingkatannya di saran kan untuk melakukan beberapa tes agar kami bisa memastikan nya." Jelas Dokter Bima.

Bagai di sambar petir di siang bolong Anta menatap kosong papan nama yang bertuliskan Dr. Bima itu. Apakah ia harus percaya dengan apa yang ia dengar atau menyangkal nya? Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.

"Menurut saya dugaan dokter salah. Adik saya baik-baik saja selama ini ia tak pernah mengeluh kan rasa sakit nya. Dia sehat dok!!" Anta terus meyakini bahwa Gio sehat, Gio adik nya baik-baik saja. Ia yakin itu.

"Saya tau ini pernyataan yang berat bagi anda untuk di terima tapi saya meminta kepada anda untuk membicarakan ini dengan keluarga anda. Agar kami bisa cepat menangani nya sebelum terlambat."

Anta berjalan di lorong rumah sakit dengan perasaan gelisah, menyesal, marah semua nya tercampur menjadi satu. Adik menyebalkannya itu memiliki penyakit mematikan dan bagaimana bisa ia tak menyadarinya sama sekali.

"Aaakahhh!!!" Anta menarik rambutnya kasar, tak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang menatap aneh padanya. Yang ia pikirkan hanya adik nya itu Gio.

"Bang, kata dokter apa? Gio punya penyakit apa? Dia bisa sembuh kan?" Pertanyaan beruntun itu Devan layang kan namun ia tak mendapatkan jawaban. Anta hanya melewati nya saja lalu masuk ke ruang rawat Gio karena mereka sudah di pindahkan.

"Apakah, pasien sering mengalami pingsan, mimisan dan semua gejala dari penyakit yang saya sebutkan?"

Jika di pikirkan memang akhir-akhir ini Gio selalu mimisan, terkadang juga pingsan bahkan perilaku nya sedikit berbeda dari biasanya. Anta pikir itu hanya sakit yang biasa terjadi pada setiap orang pada umumnya dimana mereka kelelahan atau panas dalam. Tapi nyatanya itu lebih mengerikan.

Anta menatap wajah pias Gio yang terpejam dengan damai, bulu matanya yang lentik hidung mancung dan bibir merah muda. Ia tak merokok karena dilarang keras oleh Hendra.

"Gi, apa lo sering kesakitan? Menahan sakit sendirian tanpa adanya orang yang bisa membantu setidaknya meringankan rasa sakit lo." Anta berucap dengan suara bergetar. Ia masih belum bisa menerimanya semuanya terlalu mengejutkan.

"Lalu gue harus bilang apa ke mama dan papa?" Anta sudah menangis menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak bisa membayangkan bagaimana Gio melewati semuanya.

"Abang?" Suara serak dan pelan itu terdengar hingga Anta menatap Gio yang sudah membuka matanya.

"Lo kenapa? Baru kali ini gue liat lo nangis terakhir gue liat waktu kita masih sd rebutan sepatu." Ujar Gio lirih terkekeh dengan senyum yang mengembang  di wajah pucat nya.

"Jangan senyum, Gi. Gue gak bisa liat lo senyum dengan semua rasa sakit yang lo tahan sendirian." Anta menatap Gio dengan wajah basah sebab air matanya tak bisa berhenti walau ia tak mengeluarkan suara tapi terlihat jelas bahwa Anta menangis pilu dengan kenyataan yang menimpa adiknya.

"Maksud lo apa, bang?" Tanya Gio lirih.

"Gue tau... gue tau Gio. Lo jangan sembunyikan semua itu lagi karena gue udah tau." Anta terisak kembali ia mencoba mengatur nafas nya dan melanjutkan perkataan nya.

Sergio | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang