"Lo nggak takut sama gue? Lo yakin bisa mimpin geng lo yang udah hampir sekarat itu?" ledek Mahen.

"Lo itu cewek, Gis. Cewek itu lemah, mna bisa memimpin sebuah pasukan perang."

"Oh ya?" Gista menaikkan sebelah alisnya. "Kata siapa?"

Gadis itu kemudian menipiskan bibirnya, merubah raut wajahnya menjadi datar. "Lo harus tahu satu hal Mahen. Bahwa tidak ada kata takut di dalam kamus hidup seorang Gistara Arabhita," ujar Gista melepas sarung yang menutup katananya.

CTANG!

Bunyi katana yang ditarik dari sarung pemutupnya menambah aura mencekam di malam berpurnama itu.

Gista memegang katanya erat-erat. Ujung katananya yang tajam dan runcing berkilat mengerikan terkena terpaan sinar bulan purnama, seolah tengah mencari mangsa.

Mata setajam elang itu kemudian membidik tepat pada laki-laki yang berdiri dengan jarak tiga meter darinya yang juga tengah memegang katananya.

"Lo harus membayar semuanya, Mahen! Darah harus dibayar dengan darah! Nyawa harus dibayar dengan nyawa!" desis Gista tampak menyeramkan dengan mata yang penuh kobaran api dendam dan sama sekali tidak berkedip.

"One!" Gista mulai menghitung sambil mengangkat tangannya sebagai kode.

"Two."

Semua anak Balapati sudah siap dengan senjata mereka masing-masing begitupun sebaliknya.

"Three."

"ATTACK NOW!" teriak Gista kemudian mengayunkan katananya dengan mudah ke arah Mahen.

Bunyi benda tajam yang saling beradu  ditambah malam yang semakin pekat dan hawa dingin yang mulai menusuk membuat aura semakin mencekam penuh dengan ketegangan.

Katana, belati, dan senjata lainnya saling berusaha menyambar satu sama lain. Seolah-olah mencari mangsa untuk tumbal di malam purnama.

Devan yang tengah mengayunkan belati miliknya kini menghadapi Axel si ketua geng motor The Lions dengan tetap waspada. Fokusnya ada dua yaitu pada Axel dan juga Gista.

Bukannya ia meragukan ilmu bela diri gadis itu. Hanya saja dia sudah menganggap Gista sebagai adiknya. Dia sudah berjanji pada Wira untuk menjaga Gista. Devan tidak mau jika sampai satu-satunya queen Balapati mereka terluka.

Magenta dan Kaivan yang diberi tugas oleh Devan untuk menjaga Anika, Rania, dan Ganes yang keadaannya tidak memungkinkan untuk ikut berperang kini duduk di pinggir lapangan di bawah pohon. Anika dan Rania saat ini butuh perlindungan juga tidak mungkin mereka membiarkan dua cewek itu kembali jatuh ke tangan Mahen.

Buk

Sebuah batu berukuran sedang menghantam punggung Magenta yang tengah melepas jaketnya untuk menutupi paha Anika. Cowok jangkung itu meringis pelan lalu membalikkan tubuhnya.

Dua orang kini tengah berlari menuju mereka dengan sebuah katana di tangan masing-masing.

Kaivan yang juga tengah melakukan hal yang sama dengan Magenta, menutupi paha Rania dengan jaketnya. Langsung menyusul berdiri di samping si minim kosakata tersebut.

"GO!" perintah Magenta sambil mengeluarkan katananya yang diikuti oleh Kaivan.

Keempatnya kini saling beradu pedang berusaha melukai satu sama lain.

Di sisi lain, Janu si cowok slengahan tersebut tersenyum miring karena telah berhasil melukai lawannya dengan katana miliknya.

Di saat situasi seperti ini Janu yang receh dan konyol akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi beringas dan mengerikan. Cowok itu pun menginjak kaki lawannya yang tengah mengerang kesakitan di bawahnya.

GISTARA (END) Where stories live. Discover now