Cih! Paling juga pencitraan!
"Lo mau apa sih, Gal? Kalau nggak ada yang penting mending lo pergi. Gue males berdebat," ujarnya jutek.
Bukannya pergi Manggala malah mengulurkan sebuah buku tulis dan pulpen yang tadi ia sembunyikan di balik jas almamaternya.
"Di kelas lo nggak ada guru, tapi tadi ada tugas Bahasa Indonesia bikin puisi tema bebas. Daripada lo ke kelas. Mending lo kerjain ini gue bantu."
Gista menatap buku itu tanpa minat.
"Buat apa gue ngerjain tugas. Palingan besok gue juga udah diskors atau malah dikeluarin karena tindakan nggak bermoral gue."
Meraih tangan cewek di depannya, Manggala meletakkan buku tulis yang tidak diambil oleh Gista. "Lo nggak bakalan diskors. Percaya sama gue."
"Gue udah telepon Om Revan. Bentar lagi dia ke sini sama Bang Devan buat nyelesain masalah lo sama jelasin soal Kanaya."
Gista terkejut mendengarnya. Dia saja tidak berani mengatakan apapun terhadap Revan karena tidak mau menambah masalah mereka, Manggala justru membuat mereka datang ke sini.
"Lo apa-apaan sih pake bilang ke Om Revan segala. Gue bisa nyelesain semuanya sendiri. Gue bisa ganti rugi. Gue juga bersedia diskors atau bahkan dikeluarin," murkannya melayangkan tatapan tajam pada Manggala.
"Lo lupa kalau di sini yang anak Balapati bukan cuman gue?" Manggala menaikkan sebelah alisnya.
"Kalaupun gue nggak bilang anak-anak yang lain pasti bakalan lapor ke Om Revan," lanjutnya.
Gista terdiam. Benar juga di sini banyak mata-mata kalau pun dia sudah menggertak Manggala dan sahabatnya yang lain untuk tutup mulut. Anak Balapati yang lain pasti bisa juga buka mulut pada Revan.
"Tapi—" Ucapan Gista terputus karena Manggala menggandeng tangan cewek itu untuk berjalan di sebelahnya.
"Udah mending lo kerjain tugasnya. Lupain soal tadi pagi. Biar semua Om Revan yang urus."
Gista tidak menolak ketika Manggala makin mengeratkan gandengannya dan membawanya pergi entah kemana. Bukan karena ingin mengerjakan tugas. Jujur Gista memang suka membaca novel, tapi soal membuat puisi dia tidak bisa. Otaknya sulit untuk disuruh mengeluarkan kata puitis. Yang keluar justru umpatan-umpatan.
Namun, cewek itu nerasakan perasaannya yang menghangat ketika Manggala menggandengnya. Ada perasaan nyaman yang menjalar di tubuhnya.
***
Sepasang mata hitam legam sedari tadi berpencar ke segala arah disertai langkah kaki yang tak santai menjelajahi isi rumah yang tampak sepi.
"An!" panggil lelaki berambut gondrong itu sekali lagi yang masih nihil belum mendapatkan jawaban.
Perasaan cemas mulai menyelimutinya ketika panggilan telepon yang ia lakukan hanya mendapat jawaban dari operator.
Semalam Anika, keponakannya itu memberinya pesan kalau dia tidak pulang karena menginap di rumah temannya. Karena percaya kalau sepupunya itu anak baik-baik Devan mengizinkannya saja.
Namun, selesai mengurus masalah Gista bersama Revan di sekolah tadi ia sempat mengecek ke kelas sepupunya itu untuk sekadar memberinya uang saku. Dan ternyata Anika hari ini absen. Teman-teman perempuannya ia tanya satu persatu tidak ada yang tahu di mana keberadaan gadis itu.
"Lo kemana sih, An?" gumamnya meremas rambutnya frustasi.
Beberapa saat kemudian ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari grup Balapati, Ganes mengabarkan kalau malam nanti Gandaruka menanti kedatangan mereka di gedung tua tak jauh dari Cantaka.
Sudah bisa Devan pastikan Mahen pasti sudah merencanakan sesuatu. Alasan ia dulu memilih Mahen sebagai wakil ketua adalah karena cowok itu begitu cerdik dan pandai mengatur siasat. Devan yakin menghilangnya Anika saat ini ada hubungannya dengan Gandaruka.
Jari dengan cincin perak berukir nama Balapati itu mengetikkan balasan dengan cepat.
TO : BALAPATI
Sampein kalau kita bakalan dateng.
Nggak usah khawatir. Gue yang bakalan atur strategi perang. Gue yang bakalan mimpi kalian nanti malem. Semuanya cukup persiapkan fisik dan juga senjata.
Devan tidak perlu takut mengirim balasan seperti itu di grup. Dia tadi sudah mendepak anggota-anggota yang berkhianat pada Balapati termasuk Mahen. Dia juga bisa memastikan anggota yang tersisa bukanlah penghianat.
Selesai mengirim pesan di grup Devan mendial nomor seseorang. Setelah panggilan terhubung dia langsung berbicara, "Nanti malam kita tempur," ucapnya.
"Gandaruka nantangin kita. Anika juga hilang. Gue yakin Mahen dalang di balik semua ini," lanjutnya yang kini menegakkan tubuhnya yang semula bersandar di sofa.
Lama tidak ada sahutan dari seberang telepon. Sampai seseorang itu akhirnya mengeluarkan suara.
"Gue bakalan dateng."
Tiga kata itu sontak membuat kening Devan berkerut. "Lo lagi nggak baik-baik aja," protesnya.
"Gue nelepon lo bukan buat ngajak lo ikutan. Gue cuman minta izin buat gantiin lo sementara. Gue yang bakalan mimpin mereka."
Terdengar kekehan dari seberang sana. "Lo ngeraguin kekuatan gue?"
Decakan lolos begitu saja dari mulut Devan.
"Sama sekali enggak. Tapi, gue nggak mau lo kenapa-napa. Terlalu beresiko kalau lo muncul sekarang."
"Lo itu lagi nggak baik-baik aja." Devan kembali mengulang perkataannya sebagai bentuk larangan pada seseorang itu agar tidak datang.
"Gue nggak papa. Atur aja strateginya. Gue bakalan dateng."
Menggeleng tegas meski ia tahu seseorang di sana tak mungkin bisa melihatnya. Devan kembali berusuara. "Enggak! Gue nggak bakalan biarin lo dateng!"
"Dengan kondisi lo saat ini. Ini akan terlalu berbahaya," tegas Devan melarang seseorang itu untuk datang.
Seseorang di seberang sana mengukir senyum tipis. "Gue nggak papa. Udah saatnya gue buka identitas. Udah saatnya mereka tahu siapa ketua Balapati sebenarnya... "
"Sudah saatnya juga katana milik ketua Balapati kembali menampakkan dirinya," imbuhnya sebelum akhirnya menutup panggilan telepon.
-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata
YOU ARE READING
GISTARA (END)
Teen FictionKejadian yang menimpa kakaknya membuat Gistara Arabhita membenci cowok. Dia menganggap semua cowok itu sama, yakni tiga B yang berarti belang, bejat, dan berbahaya. Akan tetapi, Gista yang membenci cowok terpaksa harus terus berurusan dengan Mangga...
Bab 68
Start from the beginning
