"Mereka menutupi kematian Kanaya yang bunuh diri dari semua orang karena hamil di luar nikah dengan sepupunya sendiri dengan kebohongan bahwa Kanaya menderita sakit parah," imbuh Sisy.
"Mereka juga menutupi kejahatan Ganes. Seharusnya murid seperti Ganes itu dikeluarkan saja, Pak. Dia bahkan sudah memerkosa anak orang sampai dia depresi. Bahkan, dia lumpuh dan buta sekarang." Cherly ikut menambahi.
Rahang Gista mengeras. Dia menatap tajam ketiganya. Dadanya kembang kempis dengan deru napas yang mulai memburu menyebabkan seulas senyum terbit di wajah ketiganya.
Pak Riyan menggeleng menatap murid di depannya ini. "Bapak kecewa sama keluarga kalian. Bisa-bisanya mereka membohongi kita soal kematian Kanaya yang masih murid di sini."
"Lalu, keluarga saya harus bagaimana, Pak? Berbicara jujur?" sambar Gista cepat.
"Bukankah jika kita jujur nama baik sekolah ini justru akan tercemar. Kita berbohong juga untuk kebaikan bersama. Lagipula ini masalah keluarga kami. Kalian tidak berhak untuk ikut campur."
"Tapi, Kanaya murid di sini Gista." Pak Riyan menyela.
"Dan sekarang kakak saya udah nggak ada. Kalian mau apa? Mau mengusut masalah ini? Apa untungnya buat kalian?"
Mereka terdiam.
"Bapak tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarga saya. Semua yang Bianca sebarkan itu bohong." Mata setajam elang itu membidik tepat pada bola mata bersoflents biru muda yang kini menatapnya sambil menyunggingkan senyum.
Pandangannya pun kembali ia alihkan pada kedua guru di depannya.
"Saya mohon biarkan kakak saya tenang di alam sana," pinta Gista lalu berdiri dari duduknya.
"Gista, Bapak kepala sekolah belum selesai berbicara!" Pak Malik menginterupsinya. Membuat Gista menatapnya.
"Berapa minggu?"
Pak Riyan dan Pak Malik mengerutkan kening tidak mengerti.
"Berapa minggu saya diskors? Atau berapa bulan? Atau mungkin bahkan dikeluarkan sekalian. Apapun itu saya akan menerimanya sebagai konsekuensi atas tindakan tidak bermoral saya."
"Permisi," pamitnya sambil mengangguk lalu meninggalkan ruangan itu.
Sampai di depan pintu Gista membalikkan badanya. "Oh, iya kalau Bapak minta ganti rugi soal kekacauan yang saya buat tadi. Silakan bapak hubungi saya. Secepatnya saya akan menggantinya."
"Uang memang bukanlah segala-galanya. Tapi, segalanya bisa diatasi dengan uang. Sungguh indahnya dunia persogokan ini," gumamnya sengaja dengan nada yang keras kemudian segera melangkahkan kaki keluar dari ruangan penuh dusta itu.
Baru saja keluar ruangan Gista sudah dikejutkan oleh keberadaan cowok jangkung yang berdiri menyandarkan punggungnya dengan sebelah kaki dan kedua tangan yang dilipat di depan dada.
Cowok itu menegakkan tubuhnya melihat seseorang yang ia tunggu sudah keluar ruangan.
"Are you okay?" Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul ketika Manggala melihat wajah murung Gista.
"I am not okay," jawab Gista melirik cowok itu sekilas lalu melenggang pergi.
Manggala menghadang Gista dengan tubuh tinggi tegapnya.
"Minggir! Gue mau ke kelas."
Gista benar-benar badmood hari ini. Bukan hanya soal foto yang Bianca sebar dan pembelaan kepala sekolah terhadap cewek itu. Entah, kenapa ia merasa sebal ketika Manggala lebih memilih menahan tubuh Bianca tadi pagi dan membiarkannya dibawa pergi oleh Magenta tanpa menyusulnya. Dan terlebih ia mendengar dari Anara kalau Manggala mengobati cewek itu di UKS karena jiwa ke-PMR-annya.
YOU ARE READING
GISTARA (END)
Teen FictionKejadian yang menimpa kakaknya membuat Gistara Arabhita membenci cowok. Dia menganggap semua cowok itu sama, yakni tiga B yang berarti belang, bejat, dan berbahaya. Akan tetapi, Gista yang membenci cowok terpaksa harus terus berurusan dengan Mangga...
Bab 68
Start from the beginning
