58. Bunga Terakhir

Börja om från början
                                    

Akhirnya, mata kiri Ali mengeluarkan setetes air. Ia mengusap air mata itu dengan kasar. Ia tidak akan membiarkan air itu menghalangi pemandangannya terhadap Prilly.

Ia ingin menatap wajah tentram gadis itu sekali lagi. Untuk yang terakhir kalinya.

"I love you," bisik Ali lirih.

Ali menunggu balasan ungkapan cinta dari bibir Prilly, namun bibir itu sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Nafas Ali tercekat.

Mata yang selama ini menatapnya dengan binar penuh cinta, kini terpejam rapat dan tidak akan terbuka lagi.

Bibir yang selama ini menggoda dan mengucapkan kalimat penuh cinta, kini tertutup rapat dan tidak akan bersuara lagi.

Tangan yang selama ini selalu mengisi genggamannya, kini terkulai lemas dan tidak akan bergerak lagi.

Raga yang selalu mengisi hari-harinya, kini berbaring kaku dan tidak akan bangkit lagi.

Jiwa yang selalu memancarkan cinta dan membuatnya bahagia, kini telah bersemayam dalam keabadian.

Apakah Prilly begitu membencinya sehingga tidak ingin melihat dirinya lagi?

Bukankah, ia telah berjanji untuk tidak meninggalkan Prilly?

Tetapi, mengapa malah gadis itu yang pergi dan meninggalkannya?

Ah, Ali lupa! Prilly pasti marah padanya karena tidak sering membelikannya bunga 'kan? Padahal gadis itu begitu menginginkan bunga darinya?

* * *

Kain putih yang hendak menutupi wajah tidur Prilly ditarik paksa oleh Ali. Tidak ada yang boleh menutup wajah gadisnya! Ia masih ingin melihat gadisnya dalam jangka waktu yang lama. Bahkan selamanya.

"Maaf, Pak." Suster menahan pergerakan tangan Ali.

Bahkan Ali semakin merapatkan dirinya dengan brankar yang ditiduri Prilly. Tangannya menyerahkan buket mawar putih, ia menidurkan bunga itu di atas perut Prilly.

 Tangannya menyerahkan buket mawar putih, ia menidurkan bunga itu di atas perut Prilly

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

"Pril," panggil Ali lirih.

"A...aku be...li bu...ngah," bisik Ali sekali lagi. Tetapi, gadis itu tidak menyahutinya.

"Bu...nga ke...ma...rin ru...sak," lanjut Ali meskipun tidak ada yang menyahutinya.

"Pril," sekali lagi, Ali merapalkan nama Prilly.

Akhirnya, isakan Ali yang sejak tadi tertahan. Lolos juga.

Ali rela melakukan apapun, asal gadisnya bangun.

Ali rela membelikan apapun, asal gadisnya bangun.

Ali rela menghabiskan seluruh hidupnya untuk menemani Prilly, asal gadisnya bangun.

Di dalam kesedihan yang ia rasakan, Ali berusaha berdiri. Suster yang melihat hal itu tentu saja menahan tubuh Ali. Bahkan untuk duduk dalam waktu yang lama saja, sebenarnya belum diperbolehkan.

"Sus...," nada Ali benar-benar lirih.

"Sa...ya ing...in men...ci...um...nya," Ali ingin mencium Prilly untuk yang terakhir kalinya.

Seperti terhipnotis dengan kesedihan Ali, kedua suster itu membantu Ali untuk berdiri. Dengan mati-matian, Ali menahan ngilu pada tulang belakangnya. Ia menundukkan kepalanya, menyatukan dahinya dengan dahi Prilly.

Setelah itu, Ali mencium dahi gadis itu dengan lama. Kemudian, ia beralih mengecup kedua kelopak mata Prilly yang terpejam. Mencium hidung mancung gadis itu. Mencium pipi kiri dan kanan Prilly secara bergantian. Dan terakhir, ia mengecup singkat bibir dingin Prilly. Ali menahan air matanya agar tidak tumpah dan membasahi wajah Prilly, ia tidak ingin tidur tentram gadis itu terusik.

Di sisa tenaga terakhirnya, Ali berbisik dengan lemah, "I will always love you, Prilly Latuconsina."

Setelah itu, tubuh Ali ambruk di lantai. Hal itu membuat kedua suster tadi terkejut bukan main. Mereka buru-buru mengangkat tubuh Ali dan mendudukkannya di kursi roda. Mengantar Ali kembali ke kamarnya.

Ali menyelami malam itu dengan rasa sepi, sedih, dan hampa. Ia merasa sedih dan sangat terpukul karena ia tidak bisa mengantarkan Prilly ke tempat peristirahatan terakhir gadis itu. Ia merasa begitu tidak berguna!

Memorinya terlempar di masa ia baru siuman. Suara pertama yang ia dengar adalah panggilan antusias dari bibir Prilly. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah secercah senyuman yang terbit di wajah Prilly.

"Ali, kamu buat aku takut."

"Akhirnya kamu bangun, Sayang."

"Jangan tidur yang lama lagi ya? Jangan buat aku khawatir lagi."

"Ali, tolong janji sama aku. Jangan pernah coba-coba tinggalin aku."

"Ali, mana yang sakit?"

"Ali, cepat sembuh ya. Aku gak sabar pengen nge-date lagi sama kamu."

"Ali, kamu gapapa 'kan?"

"I love you, Aliando Syarief."

"Ayo, buruan jawab! Bilang i love you too juga!"

Lagi dan lagi, Ali menangis dalam diamnya. Bukankah ia sudah berjanji untuk menjadi rumah bagi Prilly? Bagaimana bisa ia menjadi rumah, jika rumah itu tak berpenghuni?

Ali butuh Prilly. Ali membutuhkan gadis itu. Sekarang juga.

Maaf.

Maaf.

Maaf.

Bahkan beribu maaf pun tidak akan membuat Prilly kembali ke sisinya.

Perpisahan yang paling dibenci Ali adalah perpisahan karena kematian. Karena, serindu apapun Ali terhadap diri Prilly. Prillynya tidak akan pernah kembali lagi.

E . N . D

Maaf ya, karena aku tau pasti banyak yang kecewa sama ending cerita ini. Tapi, ya beginilah adanya.

Prilly yang dari awal begitu mencintai Ali, bahkan di akhir hayatnya. Ia tetap mencintai Ali.

Karena kematian adalah keabadian yang sesungguhnya.

Kisah cinta antara Ali dan Prilly, yang abadi.

Stay (Away)Där berättelser lever. Upptäck nu