21. Butuh kejelasan

Start from the beginning
                                    

"Gua ga mau lo pergi, Fika ... gua ga mau lo benci dengan gua cuma karena masa lalu," ucap Saga parau karena menahan tangis.

"Fika cuma butuh jawaban aja, Saga. Kenapa Fika bisa lupa? Kenangan bareng Saga itu berharga buat Fika, baik itu kenangan jelek kalo bareng Saga itu tetap kenangan terbaik buat Fika," balas Nafika tersenyum kecut. Matanya sembab karena menangis, suaranya juga parau.

Saga menghapus air mata Nafika, mengelus pipinya yang basah dengan punggung tangan. "Lo bakal benci dengan gua kalau tau itu. Dan gua ga mau."

Bibi Dera bangkit, menjauh agar mereka berdua memiliki ruang untuk berbicara. Sebagai orang yang tahu alasan Nafika bisa marah seperti itu, Bibi Dera tidak bisa melakukan apa pun.

Nafika mengepalkan tangannya. "Gue bakal lebih benci lo kalo gue tau itu dari mulut orang lain."

Saga menggenggam erat kedua tangan Nafika, mengelus punggung tangannya dengan ibu jari. "Gua bakal kasih tau kenapa lo bisa lupa, tapi gua ga bisa ngasih tau penyebabnya. Bisa?"

Tangisan Nafika berhenti, bahunya masih bergetar meredam tangis. Kepalanya mengangguk lemah. "Kasih tau gue, Saga. Kalau itu berat buat lo gue ga masalah cari tau itu sendirian, tapi setidaknya kasih tau gue ini kenapa."

Saga menggigit bibirnya, berkali-kali menghela napas. Matanya menatap ke langit sore yang perlahan berubah menjadi langit gelap. Dia tidak bisa mengatakan itu sambil menatap Nafika.

"8 tahun yang lalu, lo kecelakaan dan lupa ingatan, Fika."

-dear nafika-

"Jadi gimana? Lo berhasil?" Cewek dengan topi hitam itu bertanya pada sahabatnya. Yang tidak lain adalah Veya.

Veya menggeleng, matanya menatap lurus pemandangan dari balkon rumahnya. "Reo bilang dia bisa sendiri."

"Udah gue duga, sih." Elva menghela napas pelan sambil bermain ponsel.

Sebagai sahabat Veya, Elva adalah orang yang selalu menjadi support bagi sahabatnya itu. Termasuk jalan Veya mengejar cintanya, yang dimana bagi Elva sendiri jalan cinta Veya sangat rumit.

"Menurut kamu Saga itu beneran lupa sama aku atau dia pura-pura lupa?" tanya Veya pada Elva. Dia menatap sahabatnya serius.

Elva mengedikkan bahu. "Gue ngga tau. But, kalau dipikir-pikir lagi dan mengingat kembali gimana kalian berpisah, mungkin aja dia masih inget."

"Iya 'kan? Harusnya Saga inget sama aku!" kata Veya semangat.

"Yah, itu cuma perkiraan aja. Manusia itu cepet lupa, Vey." Elva mematikan ponselnya, memilih fokus mendengarkan curhatan sahabatnya.

Veya menggeleng cepat. "Ga mungkin Saga lupa sama aku tapi dia inget Reo sama Fika."

"Bener juga sih. Pada dasarnya lo juga berperan penting dalam kehidupan mereka." Elva mengetuk dagu berpikir.

Veya juga melakukan yang sama, dia menghenyakkan tubuhnya di sofa. Wajahnya berubah sendu. "Pada hari aku pisah sama Saga, aku kehilangan orang yang penting dalam hidup aku. Tapi, aku juga bertemu orang baru. Aku bertemu Ayah dan Bunda, keluarga baruku. Juga El. Kalian juga orang yang sama berharganya seperti Saga."

"Gue udah lama ngga denger lo cerita tentang perpisahan kalian," celetuk Elva, mendekat pada Veya. "Coba ceritain ulang, siapa tau ada petunjuk."

Veya terdiam beberapa detik, lalu setuju.

"Dulu, seperti yang kamu tau aku cuma anak adopsi di keluarga ini. Sebelum aku datang ke sini, aku tinggal di panti asuhan. Karena kondisi keuangan panti kami sulit, aku dan yang lain membantu Ibu Panti berjualan kue. Di sanalah aku ketemu Saga."

Veya tersenyum sambil menatap langit-langit. Masa kecilnya memang suram dan menyedihkan, tapi tetap menyenangkan karena dia memiliki teman masa kecil yang sangat berharga, sekaligus cinta pertamanya. "Aku berteman sama Saga, akrab banget sampai-sampai Saga berkali-kali datang ke panti cuma buat main sama aku."

"Ga lama, Saga datang dengan cewek yang seumuran sama dia ke panti. Kamu jelas tau siapa orang yang datang sama Saga. Dia, Fika. Awalnya dia baik dan ramah sama aku, tapi entah kenapa aku ngerasa semakin lama waktu berjalan bukannya semakin dekat dengan Fika, aku merasa kami semakin jauh." Veya menundukkan kepala, menatap jemarinya.

"Jangan-jangan Fika cemburu?" timpal Elva yang menebak-nebak.

Veya mengangkat bahu tak tahu. "Mungkin iya, mungkin tidak. Aku ngga tau kenapa dia marah, padahal waktu itu Saga bikin janji sama dia di depan aku."

"Lo bilang setelah itu Saga juga bikin janji sama lo, 'kan?" tanya Elva lagi.

Veya mengangguk kecil. "Janji itu masih aku inget sampai sekarang. Meski, mungkin Saga udah lupa."

Veya tertawa hampa, memeluk erat tubuhnya yang dingin. "Lalu, saat ada orang yang mau mengadopsi aku, aku di landa kebingungan. Aku juga pengen punya keluarga kayak Saga dan Fika, punya mama dan papa. Tapi aku juga ngga mau berpisah dari mereka. Tapi aku harus memilih, dan pada akhirnya aku memilih keluarga baru dan mereka bilang kalo aku harus pindah ke negara lain."

"Disitu Saga kecewa banget sama keputusan aku. Sampai-sampai dia membentak Fika, lalu-"

Tok-tok!

Percakapan Veya dan Elva terhenti saat pintu kamar Veya di ketuk. Dengan perlahan terbuka.

Veya tersenyum saat melihat orang yang mengetuk pintu kamarnya. "Bunda udah pulang?"

Orang yang di panggil Bunda oleh Veya mengangguk, merentangkan tangan agar putrinya bisa memeluknya.

Dengan senang hati Veya melompat ke pelukan bunda-nya. "Tumben pulang ke Indonesia cepat?"

Bunda Veya tersenyum. "Bunda pulang karena ada rapat dengan Gautama Corporation."

-TO BE CONTINUE-

Udah ketemu potongan-potongan fakta dari kejadian sebenarnya?
Mulai dari sini konflik mereka ga cuma di anak-anak, tapi orang tua mereka juga akan berkonflik.

Bocoran: Orang tua Saga, Fika, Reo, dan Veya memiliki hubungan yang cukup dekat di masa lalu.

Update setiap Sabtu dan Minggu, kalau tidak sibuk hari lain aku juga bakalan update. Bantu supportnya biar semangat.

Dear Nafika badbaby sist!Where stories live. Discover now