26 - Hilang

531 93 70
                                    

Pandangan matanya mengedar di dinding ruangan sebuah gudang bercat abu-abu tua, paku-paku berderet terpasang disana guna menggantungkan berbagai macam lempengan emas dan perak yang pemuda itu raih beberapa tahun lalu.

Tangan putihnya mengusap debu yang turut menghiasi medali itu, sudah nampak usang dan tak terawat.

Atensinya beralih pada sebuah figura dengan pinggiran bercorak keemasan, di balik kaca bening figura itu menampakkan seorang pemuda mengenakan pakaian khas seorang atlet taekwondo. Sebuah kebanggaan untuk pemuda itu dapat berdiri gagah menggigit medali emas yang ia raih, dan kedua tangannya terlihat membentangkan bendera merah putih.

Senyumnya tersemat tipis, jika di ingat-ingat medali emas itu ia raih saat kejuaraan taekwondo di Osaka, Jepang.

Pemuda itu menghembuskan nafas panjang saat bernostalgia di masa kejayaannya dulu. Namun, mungkin benar yang Agam katakan padanya tadi siang, itu semua hanya tinggal sejarah dalam hidup seorang Alvian.

"Jam 4 sore," gumamnya pelan dengan kedua mata menatap sebuah arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Saat itu juga, Alvi segera melangkah keluar dari gudang lalu mengunci pintu gudang seperti semula. Derap langkah kakinya terdengar cepat menyusuri setiap ruangan rumahnya.

"Stop stop!" pekik Dika dengan tangan mencekal erat lengan tangan Alvi. Tangan kiri Dika terlihat memegang sebuah nampan berisi semangkuk sup ayam jagung.

"Ngapain?" tanya Alvi singkat.

"Cobain dulu, gua tadi nyoba masak ini liat buku resep yang ada di meja belajar lu. Ya gua coba yang simple aja sih," jawab Dika dengan percaya diri.

"Simpel? Yakin?"

Dika terdiam, ucapan Alvi membuat kepercayaan dirinya yang semula setinggi gunung everest kini menciut. Walaupun begitu, ia tetap meletakkan mangkuk itu di atas meja ruang tamu, lalu meminta Alvi untuk duduk di sofa.

Saat itu Alvi menatap tak percaya pada Abangnya, entah sejak kapan Abangnya itu mau menyentuh kompor dan peralatan dapur lalu kotor-kotoran membersihkan sayuran dan ayam yang berbau amis.

Perlahan jemari Alvi meranggah sendok sup di dekat mangkuk, jika sup itu diperhatikan memang penampilannya tidak terlalu buruk, tapi entah bagaimana rasanya. Langsung saja Alvi menyendok sup itu dari dalam mangkuk menyuapkannya ke dalam mulut.

Alvi mengulas senyum lebar seraya terkekeh pelan setelah menelan sup buatan Abangnya.

"Abang udah cobain?" tanya Alvi menatap Dika dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedangkan Dika hanya menggeleng lemah.

"Cobain deh!" titah Alvi seraya menyodorkan mangkuk sup itu pada Dika. Tangan Dika terulur menerima mangkuk sup itu dari tangan Alvi kemudian mencicipi rasa masakannya sendiri. Dahinya mengernyit saat sup itu baru saja menempel pada lidahnya.

"Enak?" Alvi mengangkat sebelah alisnya, bertanya pada Dika.

Tak menjawab apapun, Dika masih mengecapkan mulutnya merasakan sensasi aneh dilidahnya.

"Abang tau bedanya garem sama micin?"

"Tau lah, garem asin, micin asin juga," jawab Dika dengan wajah sedikit bingung menanggapi pertanyaan Alvi.

Alvi menggaruk rambutnya frustrasi. Ia menghembuskan napas berat lalu berdiri menghadap Dika.

"Abang kasih garem berapa sendok?"

"1/2 sendok teh."

"Kasih micin berapa sendok?"

"4 sendok teh."

ALVIRENDRAWhere stories live. Discover now