24 - Ikatan Takdir

566 96 72
                                    

Roda mobil putihnya menyibak dedaunan kering yang berserakan di jalanan. Alvi melajukan mobil nya begitu cepat seperti tidak ada trauma pernah mengalami kecelakaan tragis. Yang ada di fikiran nya kini hanya tertuju pada Ayahnya.

Suara decitan itu terdengar akibat Alvi kembali menginjak rem secara mendadak, kini ia sudah sampai di depan pagar rumah nya, yang sudah di pasangi bendera kuning.

Jemari Alvi meremat kemudi mobil nya, hati nya begitu hancur melihat bendera kuning itu sudah terpasang di depan rumah nya. Itu artinya semua yang Bang Dika katakan di sambungan telpon adalah kebenaran.

Dengan cepat Alvi membuka pintu mobil lalu membantingnya keras. Kaki nya langsung berlari gontai memasuki rumahnya yang di selimuti duka.

"AYAH!" pekik Alvi saat melihat Ayah nya sudah terbujur kaku.

"Ayah maafin Al hari ini gak ke rumah sakit jenguk Ayah. Tapi jangan hukum Al kayak gini, Yah!"

"AYAH!" pekik Alvi yang masih setia memeluk tubuh Ayahnya yang dingin dan pucat itu.

Saat itu sebuah tangan merangkul pundak Alvi lalu mengusapnya pelan, sontak Alvi langsung memeluk tubuh pria itu yang tak lain adalah Andi, manager Ayahnya.

"Om, Ayah ninggalin Al! Hiks hiks.." rancau Alvi dalam pelukan Andi.

Andi mengusap pelan punggung Alvi, guna menenangkan putra bungsu Ananda. Ia tak melepaskan pelukan nya saaat masih dapat mendengar nafas Alvi yang tersenggal-senggal, ia tau Alvi kini tengah benar-benar butuh sandaran.

Jemari Alvi meremat kuat baju Andi merasakan dadanya yang terasa sesak, sakit, menahan pedih nya kehilangan sosok Ayah.

Andi memejamkan matanya membiarkan air matanya mengalir membasahi wajahnya, ia sendiri juga tidak kuat melihat Alvi sehancur ini di pelukannya. Sosok Alvi yang ia kenal kuat, ternyata bisa serapuh ini, padahal Ananda bukan Ayah kandungnya.

"Alvi, kita ikhlasin Ayah ya..." ujar Dika dengan suara tersenggal-senggal. Tangannya mengusap punggung Alvi yang masih setia memeluk Andi.

Alvi hanya mengangguk pelan memberikan respon pada ucapan Dika. Saat itu juga nafas Alvi semakin menipis, dada kirinya kembali berulah terasa nyeri akibat menangis. Ia terbatuk-batuk saat nyeri itu semakin menjadi.

Ukhuk... ukhuk!

"Al bangun! Al? Lo kenapa?"
Kelopak matanya mengerjap cepat saat suara pekikan Gilang memekik gendang telinganya. Ia terbatuk beberapa kali sebelum kesadarannya benar-benar kembali. Saat merasa lebih tenang, ia mengedarkan pandangannya menatap setiap sudut ruangan bernuansa putih di sekelilingnya. Saat hendak menggerakkan tangan kirinya, Alvi merasakan nyeri di punggung kiri tepat dimana jarum infus itu tertancap.

"G-gua dimana?" gumam Alvi.

"Ayah..." lirih Alvi dengan berusaha mengangkat tubuhnya untuk duduk. Alvi menatap satu persatu orang yang berdiri di samping bakarnya, mulai dari Gilang, Gelya dan Caca.

Alvi terdiam beberapa menit, ia baru ingat kalau tadi siang Dika dan Gelya memanggil dokter untuk memeriksanya, saat itu dokter mengatakan Alvi demam tinggi hingga 39° C, karena kesehatannya drop akibat kelelahan.

Alvi menghela nafas lega, kedua tangannya meraup kasar wajahnya. Ternyata kejadian Ayahnya meninggal tadi hanyalah mimpi buruk, akibat kecemasannya yang terlalu berlebihan.

"A-ayah ga papa kan?" tanya Alvi pada Gilang, Caca dan Gelya.

Gelya mengusap puncak kepala Alvi seraya tersenyum tipis.

"Ga usah khawatir, Ayah kamu ga papa kok. Tadi sore udah siuman, tapi keadaannya masih belum normal," jawab Gelya. Gelya memeluk erat tubuh Alvi, tiba-tiba saja buliran air matanya mengalir membasahi lekuk wajahnya.

ALVIRENDRAUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum