06 - Sepenggal Masa Lalu

494 89 58
                                    

Alvi berdiri di koridor rumah sakit, jemari Alvi kini sibuk mencari nama kontak Dika, air mata nya tak henti-henti nya menetes membasahi lekuk wajahnya. Ia mendengus kesal karena sejak tadi Dika tidak menjawab telpon nya dan justru mematikan sambungan saat Alvi hendak bicara.

Ia memilih duduk di kursi tunggu untuk menenangkan diri. Sesekali ia melirik ruang UGD dengan harap-harap cemas. Ia tidak tau sebenarnya apa yang terjadi pada Ayahnya, padahal ia lihat Ayahnya selalu baik-baik saja, terlihat sehat seperti biasanya.

"Dok!" Alvi berdiri lalu menghampiri seseorang berjas putih dengan stetoskop melingkar di lehernya.

"Apa yang terjadi sama Ayah saya? Ayah saya kenapa?" Tanya Alvi.

"Tuan Ananda terkena kanker hati stadium 2."

Dengan susah payah Alvi meneguk saliva nya. Ia sedikit tidak percaya, sebab Ayah memang selalu terlihat baik-baik saja selama ini, tidak mengeluhkan apapun, dan bahkan tidak pernah terlihat sakit ataupun kelelahan.

"I-itu apa bener, Dok?"

"Iya, benar."

"Oh iya, nanti Ayah kamu akan segera di pindahkan ke ruang rawat inap. Kamu bisa temui Ayah kamu di sana." Lanjut Dokter itu seraya mengusap pundak Alvi.

Alvi mengangguk lirih, ia terlihat seperti orang linglung saat ini. Ia masih tidak percaya pada realita yang ada di depan mata. Saat itu, ia kembali merogoh ponsel di kantong celana nya, sekali lagi ia mencoba untuk menghubungi Dika, tak peduli Abangnya akan marah padanya nanti.

Di reject! Sekali lagi Dika menolak panggilan telpon Alvi. Keterlaluan memang, Alvi sudah benar-benar kesal dengan Dika. Sebab Abang nya itu pasti hanya sibuk ngapel sama Kak Gelya.

Kak Gelya?! Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya? Seharusnya Alvi menghubungi Kak Gelya saja yang sudah jelas pasti di respon. Ia segera mencari kontak Gelya, lalu mencoba untuk menghubungi nya via telpon.

"Hallo kak! Bang Dika lagi sama Kak Gelya nggak?" Tanya Alvi dari sambungan telpon.

"Ada kok, ini kita lagi makan di luar." Jawab Gelya dari sebrang telpon.

"Kak, tolong kasih tau Bang Dika, Ayah masuk rumah sakit."

"Apa?"

Gelya sedikit menjauhkan ponsel nya, untuk bicara sebentar pada Dika.

"Dika! Ayah kamu masuk rumah sakit!" Ucap Gelya, membuat Dika tersedak minuman yang ia teguk.

"Siapa yang ngomong?" Tanya Dika.

"Adek kamu! Al bilang Om Ananda masuk rumah sakit."

Mendengar hal itu, Dika langsung bersiap pergi ke rumah sakit menemui Ayahnya. Ada sedikit penyesalan dari dalam benak nya, ia pikir tadi Alvi menelpon hanya untuk hal kecil yang tidak penting untuk nya.

"Hallo Al! Kamu tenang aja ya, Bang Dika udah mau nyusul ke rumah sakit kok," ucap Gelya dari sambungan telpon nya dengan Alvi.

"Oke Kak, makasih ya."

Alvi menutup sambungan telpon nya dengan Gelya, lalu ia bergegas pergi ke ruang rawat inap nomor 12 untuk melihat keadaan Ayahnya sekarang. Walaupun Alvi bukan anak kandung Ananda, tetapi hati Alvi begitu remuk redam mengetahui keadaan Ananda, lubuk hati nya terdapat rasa takut kehilangan sosok Ayah. Karena sejak kecil Alvi hanya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah hanya dari Ananda.

Langkah kakinya terdengar sepanjang koridor rumah sakit, perasaaan nya masih bercampur baur antara cemas pada Ayah dan kesal dengan Abang nya.

Jemari Alvi yang terasa dingin itu perlahan membuka pintu ruang rawat inap, ia dapat melihat Ayahnya terbaring di bankar rumah sakit dengan kedua pasang mata nya. Kemudian ia berdiri di samping bankar itu, menatap sendu wajah Ananda yang pucat pasi. Tangan Alvi meraih jemari tangan Ananda, merasakan dingin nya jemari itu saat bersentuhan dengan jemari nya.

ALVIRENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang