07 - Lekuk Mata

458 89 35
                                    

Lalu lalang mobil terlihat melintasi jalanan, kota itu Nampak masih sibuk di padati aktifitas kendaraan. Hal itu sudah lumrah terjadi pada setiap wilayah ibukota Jakarta, wilayah dengan kapasitas penduduk terpadat. Walaupun matahari sudah tenggelam sepenuhnya, tak menjadi alasan untuk para pekerja keras untuk tidur nyenyak di malam hari. Caca contohnya, di jam 22:38 WIB gadis berumur 15 tahun itu kini tengah duduk di halte bus, untuk pulang ke rumah setelah part time, hari ini ia pulang lebih malam karena ia mampir terlebih dahulu ke apotek untuk membeli obat untuk Ibunya.

Netranya terlihat fokus pada buku novel yang ia baca, di perjalanan ia memang lebih suka membaca buku ketimbang bermain gawai. Bukan karena ia kutu buku, melainkan ia tidak ingin memancing kejahatan, apalagi di malam hari yang rawan begal, pencopet, bahkan preman.

Caca mendongakkan kepalanya, menatap langit yang kini bergemuruh, menampakkan kilatan di sertai rintikan hujan. Ia berdecak sebal, hujan sudah hampir deras, tetapi dirinya bahkan masih menunggu di halte bus. 

"Neng! Belum pulang?" Tanya seorang laki-laki bertato yang kini berdiri di sebelahnya. 

Merasa ada yang janggal, Caca segera mengenakan jaket cokelatnya,tanpa mejawab pertanyaan pria tadi ia langsung melangkah cepat meninggalkan Halte bus walaupun kini ia tidak tau langkah kakinya akan membawanya kemana.

"Mampus Ca! jalanan sepi banget." Gumam nya pelan. 

Ia terus melangkah cepat tak memperdulikan tubuhnya yang basah serta rambutnya yang terasa lepek. 

Bruk!

Tubuh mungilnya tak sengaja menabrak seseorang di depannya, hingga novel yang ia genggam jatuh ke dalam genangan air. Kaki nya melangkah mudur dengan kepala menunduk, pikirannya kini sudah tidak bisa berfikir jernih, ia takut seseorang itu adalah preman tadi. 

"Jangan ganggu gue!"
"Gue bisa laporin lo ke polisi!" 

Seseorang itu terkekeh pelan, tangannya mengambil novel Caca yang terjatuh di genangan air.

"Bukannya, seharusnya saya yang laporin kamu ke polisi? Karna hampir mencemarkan nama baik restoran Ayah Saya kemarin?" 

Mendengar itu perlahan Caca mengangkat kepalanya, membuat kedua netranya sempat melihat orang itu dari ujung kaki hingga netranya terpaku pada manik mata cokelat milik orang yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu.

"Nih! Novel kamu kan?" Tanya orang itu seraya menyodorkan novel milik Caca.

"Alvian?!" Gumamnya dalam hati.

Dahi Alvi mengernyit bingung, menatap netra Caca yang menitikkan air matanya yang kini berbaur dengan air hujan. Sampai saat ini, netra milik Caca bahkan masih menatap intens kedua lekuk mata milik Alvi. 

"Heh! Jangan natap lama-lama! Saya bukan layar handphone." Sindir Alvi membuat Caca membuyarkan lamunannya.

Karena kesal, Alvi menarik tangan kanan Caca lalu meletakkan Novel itu pada telapak tangan Caca.

"Nih novel kamu! Cepetan pulang, udah jam 11 malem."

Tanpa menimpali ucapan Alvi, Caca langsung melengos pergi dari hadapan Alvi. Tetapi langkahnya terhenti saat merasakan pergelangan tangannya yang di genggam oleh Alvi saat ia hendak beranjak dari sana.

"Gak baik cewek jalan sendirian malem-malem begini."

"Gak baik cowok pegang tangan cewek di tempat sepi kayak gini!" Timpal Caca meniru ucapan Alvi.

"Saya anter pulang, rumah kamu dimana?"

"Ga perlu! Saya punya kaki, bisa pulang sendiri." Ketus Caca yang masih berusaha melepaskan tangan nya.

ALVIRENDRAWhere stories live. Discover now