Benar. Di buku yang bersampul merah itu Kanaya menuliskan hal yang membuat dia kesal. Di halaman pertama, Kanaya menuliskan tentang kekesalannya pada Ganes yang menghilangkan jam tangan barunya.
Berbeda dengan buku bersampul biru yang ia baca tadi, yang berisi pengalaman menyenangkan Kanaya.
"Kalau yang biru tentang pengalaman menyenangkan. Yang merah tentang kekesalan. Terus yang hitam?" tanya Gista menatap buku itu dan Manggala secara bergantian. "Isinya tentang apaan?"
"Tentang kejadian yang nggak pernah Kanaya inginkan. Bisa dibilang kejadian yang buat kakak lo sedih."
Bola mata elang gadis itu langsung membidik buku bersampul hitam yang berada di atas meja.
"Yaudah. Tunggu apa lagi? Berarti semua petunjuk itu ada di buku bersampul hitam," ujar Gista antusias membuka buku itu yang langsung dicegah oleh Manggala.
"Belum tentu."
Kedua alis Gista bertaut. "Maksud lo?"
"Buku bersampul merah itu tentang kekesalan alias amarah Kanaya. Bisa jadi buku itu berisi petunjuk yang menunjukkan alasan Kanaya menulis I Hate Balapati. Yang mungkin ada keterkaitannya sama kejadian yang udah dia alami."
Cowok itu kembali berujar. "Enggak mungkin Kanaya menulis kalimat itu tanpa adanya suatu alasan. Enggak mungkin juga dia membenci geng motor yang didirikan oleh ayahnya sendiri kalau nggak ada sesuatu yang melatarbelakanginya."
"Enggak mungkin ada asap kalau enggak ada api," kata Manggala menggunakan peribahasa.
Gista mengangguk. Apa yang cowok itu katakan sama persis dengan apa yang ia pikirkan mengenai tulisan itu. Ia semakin yakin ada sesuatu yang Kanaya sembunyikan dari semua orang.
Menghela napasnya, Gista mengamati wajah tampan cowok itu yang kini tengah menyesap minumannya. Gista tidak salah menerima tawaran Manggala. Cowok itu cukup cerdas dalam menganalisa sesuatu. Dia saja yang menurutnya sudah pintar dalam berbagai mata pelajaran tidak mampu menganalisa tiga buku diary milik Kanaya.
Sadar jika Gista memerhatikannya, cowok beralis tebal itu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?" Gista mengalihkan pandangannanya ke meja sebelah yang kosong. Dia mendadak salting. Sudah seperti orang yang ketangkap basah tengah memerhatikan seseorang dalam diam.
"Kenapa lo liatin gue sampe segitunya?" Manggala to the point. Dia tahu jika gadis di depannya itu tadi tengah memerhatikannya.
"Mulai ada rasa lo sama gue? Mulai sadar kalau gue itu ganteng?" ujarnya kePD-an. Kedua alisnya bergerak naik turun, menggoda Gista.
Gista terbelalak.
Apa dia bilang? Ada rasa? Iya, rasa pengen nendang cowok dengan tingkat kepedan yang bukan main-main itu ke neraka.
"Enggaklah! Ngapain juga gue ngeliatin cowok rese kayak lo. Orang gue lagi ngeliat pasangan di belakang lo. PD banget jadi orang," kilah Gista melipat kedua tangannya di depan dada.
Manggala mengangguk lalu menoleh ke belakang. Memang. Di dekat pagar pembatas yang berada di belakangnya terdapat sepasang muda-mudi yang tengah bermesraan. Keduanya saling merangkul sambil melihat bintang di atas sana.
"Oh, jadi lo iri sama mereka?" ucap Manggala yang lagi-lagi membuat Gista terbelalak.
"Bilang kek dari tadi kalau mau dirangkul juga."
Tuk!
Sebuah sendok melayang di kepala cowok itu. Membuat si empu meringis kesakitan. Sementara, si pelaku pelemparan sendok hanya menatap datar seolah tak memiliki dosa apapun.
"Lo ngomong sekali lagi. Gue robek mulut lo pake garpu!" ancam Gista sadis sambil menodongkan garpu yang ia pegang ke arah Manggala.
Baru saja Manggala ingin sujud syukur karena ia pikir Gista sudah mulai care dengannya mengingat cewek itu mau ia ajak makan di cafe meskipun alibinya membahasa masalah Kanaya. Namun, kini Manggala malah dibuat istigfar.
Gista kalau mengancam memang tidak tanggung-tanggung. Ancamannya selalu membuat orang lain bergidik ngeri.
Cewek itu meletakkan garpunya kembali ke atas piring dan berkutat dengan buku diary milik Kanaya. Baru dua lembar ia membaca, Manggala sudah menginterupsinya untuk segera pulang.
"Udah mau isya mending kita salat dulu terus pulang. Lo lanjutin baca diary-nya di rumah aja," saran cowok itu sembari membereskan barang-barangnya.
"Kalau lo lanjutin bacanya di sini yang ada lo bisa lupa waktu," imbuhnya memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket. Jas almamater cowok itu memang telah diganti jaket yang Gista kembalikan tadi.
"Hm. Oke. Lo bener juga." Gista memasukkan ketiga buku itu ke dalam tasnya. Memastikan juga kalau barang-barangnya tidak ada yang tertinggal sebelum akhirnya ia melangkah keluar cafe bersama Manggala.
Sesampainya di luar cafe, Manggala menahan pergelangan tangannya yang hendak menuju tempat ia memarkirkan mobilnya.
"Eh, apaan sih lo pegang-pegang!" sentak Gista dengan mata yang melotot garang.
"Udah gue bilang, kan, jangan modusin gue! Gue benci sama cowok tukang modus!"
Manggala memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam.
Sabar, Gal. Sabar. Ini ujian, batin cowok itu mencoba bersabar.
"Gue nggak mau modusin lo, Gis."
"Terus apaan kalau bukan modus? Sok-sok an pake gandeng gue. Gue bisa jalan sendiri kali. Gue itu udah gede."
Sekali lagi Manggala mengucap istigfar. Gista sepertinya memang senang sekali bernegatif thinking padanya. Dia jadi berpikir bagaimana cewek itu ketika PMS. Tidak PMS saja ketusnya minta ampun.
"Makanya lo itu kalau jalan jangan cepet-cepet. Gue itu mau nahan lo buat ngajakin salat isya bareng di musola sebelah." Manggala menjelaskan dengan lembut. Salah nada bicara bisa-bisa cewek di depannya ini malah ngegas.
"Biar tenang kalau sampe rumah. Tinggal bersih-bersih sama ganti baju terus bobok cantik," ujarnya lagi masih dengan nada lembut.
Melirik arloji di tangan kirinya. Gista akhirnya mengangguk. Waktu isya memang masih panjang, tapi jika tidak disegerakan ia bisa menunda-nuda terus.
"Oke. Imamin gue."
Refleks Gista melotot menyadari ucapannya barusan. Dia terkejut dengan dua kalimat yang tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya.
Gue ngomong apaan, njir!
Manggala dibuat terkekeh oleh ekspresi salting Gista. "Iya-iya gue imamin."
"Kayaknya ngebet banget deh pengen jadi makmum gue," kelakar cowok itu sambil berjalan lebih dulu menuju musola yang berada di samping cafe. Meninggalkan Gista yang masih melotot dengan kesaltingannya.
"Tungguin dulu gue sukses ntar gue imamin tiap hari," imbuhnya mesem-mesem sendiri.
Bugh
"Awshh."
Cowok dengan sendal jepit putoh kombinasi kuning itu berhenti sambil mengangkat sebelah kakinya yang ditendang oleh Gista. Sementara, Gista berjalan santai melewati cowok itu dengan senyum miringnya.
Cowok itu menggeleng pelan. "Gila tuh cewek dibaperin bukannya baper malah ngeluarin jurus terus," gumamnya.
"Lama-lama gue bisa pincang beneran kalau tiap ngebaperin dikit aja kena tendang."
-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata
YOU ARE READING
GISTARA (END)
Teen FictionKejadian yang menimpa kakaknya membuat Gistara Arabhita membenci cowok. Dia menganggap semua cowok itu sama, yakni tiga B yang berarti belang, bejat, dan berbahaya. Akan tetapi, Gista yang membenci cowok terpaksa harus terus berurusan dengan Mangga...
Bab 43
Start from the beginning
