🌙ㅣ31. Kedatangannya, Masa Lalu

101K 10.9K 81
                                    

'' Perasaan bersalah memang tidak bisa hilang dengan mudah''

"Laila, keadaan mereka bagaimana?" Anggara menghela napasnya beberapa kali dengan tatapan kosong ke depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Laila, keadaan mereka bagaimana?" Anggara menghela napasnya beberapa kali dengan tatapan kosong ke depan. Dua hari ia ditinggalkan anak-anaknya, dan ia sudah kacau sekali. Padahal dulu Anggara pernah menyuruh anak-anaknya untuk tinggal di luar negeri tak sekalipun ia begini. Merasa bersalah, hampa, dan selalu dibayangi wajah anak-anaknya jika terpejam. Perkataan Alderion berefek hebat padanya. Juga menyadarkannya bahwa dirinya memanglah salah. Embusan napas Anggara terdengar berat saat pria itu kembali termenung.

"Barusan Rion ngabarin semuanya baik-baik aja. Zero, Varo, Vano, sama Bulan tetep sekolah, Mas." Laila menjawab, ikut mendudukkan diri di kursi untuk menemani Anggara. Tak dapat dipungkiri jika Laila juga khawatir sekali dengan kondisi anak-anaknya yang menginap di tempat yang cukup jauh dari sini. Beruntungnya, Alderion masih bisa ia hubungi dan memberinya kabar tanpa diminta.

Laila sebenarnya kecewa dengan sikap Anggara yang baru ia ketahui. Sejauh Laila mengenal, Anggara adalah pemimpin yang sangat cerdas mengambil keputusan, bahkan selalu mendapat banyak pujian karena tindakannya. Namun, Anggara kacau dalam membina keluarga sendiri, tak bisa dan juga tak mau mengerti perasaan anak-anaknya yang secara tak sadar ditelantarkan begitu saja. Laila ingin ikut pergi, membiarkan Anggara merenungkan semuanya sendirian, hanya saja Laila tahu jika Anggara bukanlah sosok yang bisa menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan. Sebagai istrinya, Laila sudah tentu wajib menemani dan membantunya. Setidaknya, Laila menjalankan perannya di sini.

Kepala Anggara menoleh pada Laila, wanita itu sudah menyimpan segelas teh di meja untuk ia minum. Anggara tersenyum, setidaknya ia tidak benar-benar ditinggalkan. "Terima kasih Laila, padahal Mas udah keterlaluan sama kamu. Udah nganggap kamu gak perlu ikut campur sama urusan ini. Kamu juga tahu Mas egois, tapi kamu tetep di sini."

Balas tersenyum, Laila mengusap pundak Anggara dengan lembut. "Aku gak mau lihat keluarga aku yang baru harus jadi kacau. Aku gak mau anak-anak aku yang sekarang harus ngalamin hal lebih buruk dari ini."

Anggara tidak menjawabnya, ia menunduk untuk mendengarkan semua yang Laila hendak katakan. Ia diam, tak mau menghentikan apa yang Laila lontarkan, ia akan menerimanya sekalipun itu adalah luapan amarah Laila yang selama ini belum pernah dilihatnya.

"Alderion, anak pertama kamu. Dia harus tanggung jawab atas adik-adiknya. Ngasih perhatian yang gak kamu kasih ke mereka, harus lindungin mereka gantiin kamu yang selalu sibuk. Alzero, dia harus bantu kakak pertamanya, harus belajar lebih dewasa lagi padahal di usianya yang sekarang dia masih mau keluar sama temen-temennya. Alvaro ... dia harus nanggung perasaan bersalah karena kamu terus nyalahin dia, Mas. Alvano, dia bahkan sampai ngalamin trauma. Mas, apa ini kurang buat kamu?" Laila menekan pundak Anggara, agar mereka bertatapan. Untuk kali ini, Laila ingin berbicara serius dan menegaskan sesuatu pada Anggara. "Kamu mau siksa mereka seperti apa lagi? Mereka udah nanggung luka masa lalu, berharap kamu bakalan obatin mereka, dan bantu mereka bangkit, tapi justru sebaliknya."

4 Brother'z | Open POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang