"Yang tetanggan, kan, rumahnya bukan kita. Ya ngapain gue nganterin lo. Kurang kerjaan banget nganterin tetangga bangunan rumah gue."

Balasan yang Ganes lontarkan membuat keempat lelaki tampan itu terkekeh kecil.

"Pulang aja sono sama pacar lo!" Mata cowok itu fokus pada seorang perempuan berambut pajang lurus yang baru saja keluar dari gedung, Raina. Mantan terindah dan bucinnya Ganes.

"Lo ngeledek ya, Bang? Lo, kan, tau kalau gue itu nggak punya pacar?! Punya gebetan satu aja taunya tukang ghosting, PHP!" cerocos Anara bermaksud menyindir Manggala.

"Cowok mah gitu ya! Suka ngebaperin anak orang abis itu nggak bertanggung jawab malah ditinggalin.  Kalau udah nggak sayang itu harusnya bilang ya sayang jangan ngilang! Cewek itu nggak bisa main ditarik ulur aja kayak layang-layang!"

Karena sibuk mencerocos dengan mulut lemesnya dengan kecepatan dan frekuensi suara yang mampu mengakibatkan pencemaran udara. Anara tidak sadar jika Ganes telah melajukan motornya untuk menyusul Raina yang kini berada di depan gerbang. Cowok itu tampak tengah membujuk sang mantan pulang bersamanya.

"Hah?! Kok gue ditinggalin sih?Woyy! Bangg Ganeeees!" teriak Anara lalu mengentak-entakkan kakinya kesal peris seperti anak kecil.

"Kaiii! Gue pulang sama siapa? Gue parno naik angkot. Ntar kalau gue dimacem-macemin gimana?" rengek Anara memasang puppy eyesnya. Ia melirik Manggala dan Magenta yang berdiam saja di atas motornya.

Kok nggak ditawarin pulang bareng sih? batin Anara keki sendiri pada keduanya.

Padahal, ia memasang puppy eyes karena berharap salah satu dari dua cogan itu menawarkannya pulang bareng. Syukur-syukur kalau Magenta yang mengantarkannya. Karena semenjak laki-laki itu ikut bergabung dengan Ganes di kantin. Anara yang semula terGala-Gala sudah oleng jadi terGenta-Genta.

"Rumah lo di jalan apa sih? Siapa tau gue searah?"

Bukannya menjawab Anara malah membuang napasnya.

Kenapa harus si jamet sih yang nanyain alamat gue?

"Di jalan Salak nomer sepuluh. Nggak jauh kok dari rumahnya Ganes. Cuman berjarak beberapa rumah doang," jawab Kaivan.

"Lah itu, kan, searah sama rumah lo, Gal. Anterin gih. Sapa tau jodoh." Janu  terkikik ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia sengaja menggoda Manggala karena ia tahu cowok itu tidak akan mengizinkan siapapun menaiki si yellow kesayangannya. Motor vespa kuning yang katanya perawatannya mengalahkan putri raja.

Manggala melotot ke arah Janu. "Mau gue terbangin lo ke langit ke tujuh? Biar sekalian cepet ketemu sama Tuhannya?"

Janu terkekeh. "Nggak usah lo terbangin juga ntar gue pasti juga ketemu sama Tuhan, Gal. Setiap manusia, kan, pasti akan menemui Tuhannya."

"Yaudah sama gue aja, Ra. Demi lo jauh juga gua jabanin. Soalnya si Manggala motornya anti cewek. Takutnya kalau buat boncengin cewek ntar ngambek," ujar cowok itu menawarkan diri.

"Kalau sama si Ge takutnya lo malah nggak dianterin pulang, tapi diturunin di tengah jalan kayak cabe-cabean." Janu kemudian menyodorkan sebuah helm yang memang sengaja ia bawa untuk membonceng pacarnya yang kini telh menjadi mantan semua.

"Udah, Ra. Bareng Janu aja daripada lo jalan kaki," desak Kaivan pada Anara yang tampak ragu menerima uluran helm dari Janu.

Anara menerima helm itu dengan ragu. Janu segera menstarter motor bebeknya. Menimbulkan suara derum yang mengganggu telinga juga kepulan asap yang membuat Anara mual.

"Oke! Siap Neng?" tanya Janu pada Anara yang telah membonceng di belakangnya.

"Pegangan! Ntar lo jatoh lagi. Ya, gapapa sih kalao lo jatuhnya ke hati gue." Cowok itu mengeluarkan jurus buaya yakni, jurus seribu gombalanya. Siapa tahu mempan dan membuat cewek bermata belok itu kesengsem padanya.

"Ih najong! Mending gue jatuh ke aspal deh!"

Janu mulai melakukan motornya menyusul ketiga temannya yang telah melaju mendahuluinya. "Jalan apa tadi, Ra? Jalan rumah tangga ya?"

Plak!

"Ngegombal sekali lagi gue begal nih motor lo gue bawa pulang!" ancam Anara sadis.

***

Sebuah vas bunga berukuran kecil melayang begitu saja dari tangan kekar seseorang menghantam dinding hingga hancur berkeping-keping. Selanjutnya, buku-buku yang berada di meja jatuh begitu saja ke lantai hanya dalam sekali hempasan.

Dua menit berlalu, kamar besar yang semula rapi kini sudah berantakan mirip dengan kapal pecah. Selain pecahan vas bunga dan buku-buku yang berserakan di mana-mana. Selimut, sprei, bantal, dan guling juga tidak berada pada tempatnya.

Hanya satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kamar juga pemiliknya saat ini. Kacau.

"Arghhh!" Laki-laki si pemilik kamar mengeram seraya meninju dinding dengan keras sampai tangannya memerah bahkan mengeluarkan darah.

Darah dari tangan laki-laki itu merembes melewati sela-sela jarinya lalu menetes di lantai. Namun, hal itu tidak membuatnya lantas menghentikan pukulannya pada dinding di depannya.

"Arghh! Anjing! Bangsat! Bajingan!"

Laki-laki itu menjambak rambutnya frustasi lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan tatapan sendu. Air mata merembes mengaliri pipinya.

Sedetik kemudian suara tangisan terdengar di kamar yang kedap suara itu. Laki-laki itu tergugu sambil terus menjambak rambutnya. Deru napas laki-laki memburu dan tak beraturan. Tubuhnya gemetar hebat. Tidak kuat menahan kepalanya yang makin terasa berat dan mau pecah, ia berjalan tertatih menuju meja kecil di samping tempat tidurnya. Dengan gemetar tangannya bergerak membuka laci secarw kasar dan mengambil sebuah botol berisi butiran-butiran pil berwarna putih.

Dengan terburu-buru ia membuka tutup botol itu hingga beberapa butir berceceran di lantai. Tanpa air laki-laki itu langsung menegak tiga butir pil secara bersamaan. Barulah setelahnya, keadaannya berangsur pulih. Laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya secara kasar di atas ranjang.

Belum lima menit rasa sakit di kepalanya mereda. Laki-laki itu kembali mengerang. Tapi, kali ini ia memegangi pinggangnya sambil meringkuk. Dengan mata yang terpejam menahan sakit dan keringat dingin yang meluncur dari pelipisnya. Laki-laki itu menggumam menyebutkan satu nama perempuan.

Kanaya. Ia terus menyebut nama perempuan yang membuatnya terus menerus merasa menjadi laki-laki paling bajingan di dunia ini. Pembohong paling ulung dan juga ayah pengecut yang membiarkan darah dagingnya sendiri pergi karena merasa tak pantas untuk dilahirkan.

Kening laki-laki berkaus hitam polos itu mengernyit menahan sakit yang menyerang bagian pinggang sebelah kirinya. Dia tahu. Laki-laki itu sadar kesehatannya mulai menurun belakangan ini. Ia juga sadar, akhir-akhir ini setiap kali ia menelan obat yang sudah satu tahun ini ia konsumsi pnggangnya pasti akan terasa sakit. Laki-laki itu bukanlah orang bodoh. Ia tahu pertanda apa rasa sakit itu, akan tetapi ia lebih memilih mengabaikannya.

Baginya rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit orang-orang di sekeliling Kanaya yang diakibatkannya. Dia lebih memilih menahan rasa sakit di pinggangnya itu yang mungkin bisa saja mengancam nyawanya daripada ia berhenti menelan butir-butir obat. Karena berhenti mengonsumsi obat itu bisa membuatnya berencana mengakhiri hidup.

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

Hayolooo siapa coba laki-laki itu? Jangan-jangannnn.... aduh gak kuat lanjut part 2 ya🤣

Oke. Terima kasih telah membaca. Jangan lupa vote and coment di setiap paragrafnya. Yuhuuu!

GISTARA (END) Where stories live. Discover now