Untuk mengembalikan kekuatan di dalam dirinya, Gista mengusap air matanya kasar sambil mengumpat, "Anjing! Jangan netes terus!"

Gista terus mengumpat. Mengeluarkan puluhan nama binatang karena air matanya yang tak berhenti mentes. Hari ini perasaannya dibuat campur aduk. Mendengar mamanya dihina saja sudah membuatnya naik pitam ditambah ucapan Manggala dan pengakuan Kaivan. Gadis itu benar-benar merasa kacau.

***

"Kaivaann! Tungguuuu!"

Kaivan menutup telinganya yang berdengung karena teriakan melengking khas cewek yang menyusup ke indera pendengarannya.

Bukan hanya Kaivan, tapi seluruh siswa yang ada di parkiran motor saat itu kompak menutup telinganya karena takut gendang telinga mereka pecah. Termasuk Ganes, Manggala, Janu, dan Magenta.

"Apa sih, Ra? Teriak-teriak kayak di hutan aja. Intropeksi kek suara lo tuh udah kayak panggilan maut aja tau bikin semua orang merinding," gerutu  Kaivan mengusap telinganya yang masih berdengung.

Anara mengerucutkan bibirnya. "Jahat banget sih lo, Kai."

"Ya abis jarak nggak ada tiga meter aja lo teriak-teriak kayak anak kecil neriakin pesawat terbang aja."

"Lah Anara, kan, emang anak kecil, Kai. Tuh kepangnya aja ada pitanya segede pita kado," kelakar Janu yang duduk di atas motor bebeknya.

Anara berkacak pinggang tidak terima dikatakan mirip anak kecil. Namun, melihat Kaivan yang menstarter motornya membuat gadis berkepang satu itu langsung berdiri di depan motornya. "Eh, Kai nebeng dong," ucapnya.

"Sorry, Ra. Gue nggak langsung pulang masih mau ke makam Mama sama mau mampir ke rumah Budhe. Udah lama gue nggak ke sana."

Bahu Anara melemas. Bibirnya mengerucut. "Yahhh... "

"Bang. Gue nebeng lo ya?" tanya Anara melihat Ganes menyalakan motornya.

"Enggak! Enggak! Apaan lo mau nebeng. Gue mau nganterin pulang mantan terindah gue," tolak Ganes secara spontan.

"Lo berangkat sama Gista ya pulang bareng dia."

"Nggak ah takut gue. Gista serem banget hari ini. Sejak istirahat tadi tuh anak nggak masuk kelas lagi. Pas bel pulang masuk kelas juga diem aja. Kakinya nggak sengaja kesenggol dikit sama anak-anak lain, langsung ngabsen nama binatang sama marah-marah," cerita Anara menggebu-gebu.

"Ntar yang ada dia bawa mobilnya kayak nggak bawa nyawa aja. Gue, kan, takut banget sama mobil yang melaju kenceng gitu. Gue pasti refleks teriak. Terus nanti kalau gue teriak bisa-bisa digaplok sama dia di mobil atau diturunin di pinggir jalan."

Tepat pada saat Anara menyelesaikan ceritanya. Gista keluar dari gedung sekolah menuju parkiran. Aura gadis itu begitu gelap. Mata elangnya tampak menajam dan penuh intimidasi. Bahkan gadis itu mengabaikan Anara dan yang lainnnya yang juga berada di parkiran yang berjarak lima meter dari tempat ia memarkirakan mobilnya. Gadis itu tidak melirik mereka sama sekali. Ia memasuki mobil dengan terburu-buru dan langsung tancap gas meninggalkan sekolah dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Kaivan menatap kepergian Gista dengan penuh rasa bersalah.

Apa Gista marah sama gue? batinnya bertanya.

Sementara, di sebelah cowok itu, Manggala juga memandang ke arah yang sama, mobil Gista yang meninggalkan sekolah. Cowok itu juga  merasa bersalah karena telah membuat gadis itu menangis tadi.

"Tuh, kan, gue bilang apa. Gista itu lagi badmood." Anara berucap sambil menatap kepergian sahabatnya itu dengan nanar.

"Ayo dong, Bang! Anterin gue. Please!Lagian rumah kita, kan, tetanggaan," pinta Anara yang berbicara dengan kecepatan tak terhingga sampai ia tak sadar jika ada yang salah dengan ucapannya.

GISTARA (END) Where stories live. Discover now