"Sekarang kamu cerita sama aku. Kamu kenapa?" Kaivan melepas pelukannya, membawa tubuh gadisnya itu untuk duduk lesehan di atas rerumputan tepat di bawah jendela kamarnya.

Mendapati Kanaya yang malah menangis tanpa suara. Kaivan panik. Laki-laki itu menangkup wajah Kanaya untuk mengusap air matanya.

"Hey! Kok malah nangis? Kamu kenapa? Ada masalah di pemotretan Atau ada model lain yang nggak suka sama kamu?" cecarnya.

Kanaya menggeleng. Membuat Kaivan semakin tak mengerti. Beberapa saat kemudian Kaivan menghela napasnya dan menatap wajah Kanaya.

Dengan ragu Kaivan bertanya, "Papa kamu udah tahu semuanya?"

Kanaya mengangguk.

"Terus?"

"Papa... papa kena serangan jantung," ucapnya parau.

Kaivan terkejut. Dia sudah tahu kalau Kanaya hamil, tapi ia tidak tahu jika Erlan terkena serangan jantung karena mengetahui semuanya.

"Sekarang papa dirawat di rumah sakit, Kai. Dan ini semua gara-gara aku." Kanaya terisak. Bahunya berguncang hebat.

"Enggak. Ini semua bukan salah kamu. Ini takdir," sanggah Kaivan menarik tubuh gadisnya itu ke dalam pelukannya.

"Ini salah aku, Kai. Aku jadi aib buat mereka. Aku udah mencoreng nama baik keluarga. Bahkan sekarang aku malu dan ijik sama diri aku sendiri."

Kaivan mengeratkan pelukannya dan mengusap punggung Kanaya penuh kasih sayang.

"Kamu nggak boleh bilang kayak gitu. Kamu nggak boleh ngehina diri sendiri, Nay. Aku tahu enggak ada yang mau dan sanggup berada di posisi kayak kamu. Tapi, ini takdir. Ini ujian buat kamu. Kamu harus bisa ngelewatin ini semua."

"Aku nggak kuat, Kai. Aku nggak sanggup ngelewatin ini sendirian," adu Kanaya.

"Kamu nggak sendirian, Nay. Ada aku. Aku bakalan selalu ada buat kamu. Kita bisa lewatin ini semua bareng-bareng," tutur Kaivan halus.

"Aku mau tanggungjawab atas bayi di dalam rahim kamu itu, Nay. Aku bisa pura-pura ngaku ke papa kamu kalau aku yang udah hamilin kamu," tukas  Kaivan menatap serius Kanaya. Ia berbicara seolah itu adalah hal yang mudah baginya. Ringan dan tanpa beban sama sekali.

Kanaya langsung menjauhkan tubuhnya. "Enggak, Kai. Aku bakalan gugurin bayi ini. Aku enggak mau kamu ngorbanin diri kamu sama mimpi kamu cuman karena aku yang nggak ada harga dirinya lagi ini. Kamu punya mimpi, Kai. Kamu pengin jadi dokter, kan? Kamu berhak bahagia. Kamu berhak dapetin yang lebih baik dari aku."

"Jangan! Aku mohon jangan, Nay. Jangan bunuh bayi nggak berdosa itu. Soal mimpi aku. Aku udah nggak mikirin itu lagi, Nay. Yang terpenting buat aku sekarang itu kamu."

Kaivan sudah tidak memikirkan mimpinya lagi saat ini. Yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana Kanaya agar tidak jadi menggugurkan bayinya.

Kanaya menggeleng. Perlakuan Kaivan yang seperti ini justru membuatnya semakin terlihat mengenaskan dan tidak mempunyai harga diri lagi.

"Enggak, Kai! Enggak! Papa kamu juga  punya sakit jantung. Aku enggak mau papa kamu kena serangan jantung kayak papa aku!" bentaknya sambil  berdiri.

"Aku bisa bicara baik-baik sama papa,  Nay. Please jangan gugurin bayi kamu," bujuk Kaivan.

Kanaya tidak menjawab. Dia merogoh tas slempangnya, mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru dan menyerahkannya pada Kaivan.

"Kamu cinta, kan, sama aku, Kai?"

"Iya, Nay. Aku cinta sama kamu. Saat ini, besok, dan selamanya."

"Kalau begitu kamu janji sama aku turutin apa yang aku minta sesuai isi surat ini ya, Kai. Aku mohon."

Kaivan menerima surat itu dengan perasaan campur aduk. Entah, kenapa air matanya meleleh. Seolah isi surat itu adalah permintaan terakhir dari Kanaya teruntuknya.

"Iya, Nay. Aku janji."

"Jangan benci aku juga dengan apapun keputusan yang akan aku ambil nantinya. Titip Gista. Bantu Ganes sama Bang Wira jagain dia. Jangan sampai Gista ngalamin hal yang sama kayak aku, Kai."

Kaivan mengangguk.

"Aku juga cinta sama kamu, tapi maaf jika cinta kita nggak bisa jadi alasan buat kita bersama."

Setelah mengucapkannya Kanaya berlari keluar dari halaman samping rumahnya. Kaivan langsung mengejarnya karena ia mempunyai firasat yang buruk. Namun, langkahnya harus terhenti ketika asisten rumah tangganya meneriakinya karena penyakit jantung papanya kambuh akibat tahu perusahaannya yang rugi besar akibat  penyelewengan dana oleh salah satu orang  kepercayaannya.

"Jadi, lo dulu pacaran sama Kak Naya?" tanya Gista menatap lurus ke depan usai Kaivan mengakhiri ceritanya.

"Iya, Gis. Kita backstreet karena Kanaya sendiri yang minta nyembunyiin semuanya. Dia takut papa lo marah kalau tahu anaknya pacaran."

"Terus? Isi surat itu ada hubungannya  sama lo yang ngingkarin janji sama gue?" Gista menatap lekat mata Kaivan menanti jawaban dari cowok itu.

"Waktu itu gue sempet lupa kalau Kanaya ngasih surat ke gue karena bokap yang sakit. Surat itu juga menghilang selama satu tahun. Waktu gue cari nggak ketemu sampe sepulang dari Belanda kemarin. Pembantu gue bilang dia nemuin surat yang selama ini gue cari di tumpukan buku waktu bersihin kamar gue. Dan isi dari surat itu adalah kakak lo minta buat gue nggak nyari tahu siapa pelakunya. Dia minta sama gue buat nyegah siapapun di antara kalian yang mau nyari tahu soal itu," jelas Kaivan.

"Tapi, lo juga udah janji sama gue, Kai. Lo waktu tahu kakak gue nggak ada lo juga marah lo bahkan bersumpah mau menjarain orang yang udah memperkosa Kak Naya. Lo janji bakalan bantuin gue buat nyari tahu semuanya! Lo nggak bisa kayak gini, Kai!" ujar Gista dengan nada marah dan mata elangnya yang memerah.

"Tapi, ternyata gue udah duluan janji sama kakak lo, Gis. Seandainya gue buka duluan surat itu gue nggak bakalan janji sama lo," sahut Kaivan membuat dada Gista mendadak sesak.

"Tapi, kakak gue udah nggak ada, Kai. Lo bisa ngingkarin janjinya. Lagian lo udah janji juga buat jagain gue, kan?!" sentak Gista dengan deru napas yang memburu.

"Kakak lo emang udah nggak ada, tapi  perasaan gue buat dia masih ada. Jadi, nggak mungkin gue ngingkarin janji gue ke Kanaya, Gis."

Gista tersenyum getir. "Jadi, lo lebih milih ngingkarin janji lo ke gue, sahabat lo sendiri demi janji lo ke kakak gue yang udah nggak ada. Padahal dengan lo nurutin itu sama aja lo ngebiarin pelaku itu nyari mangsa baru, Kai."

"Sorry, Gis." Hanya itu yang terucap dari bibir Kaivan membuat Gista menatapnya dengan nanar.

Shit! Selama ini gue suka sama cowok yang mencintai dan dicintai kakak gue sendiri, batin Gista tersenyum miris.

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Where stories live. Discover now