"Manggala tadi dipukul sama Ganes," ucapnya.

Gista melirik Kaivan sekilas. Tidak menanggapi ucapan cowok itu. Ia malas membicarakan tetang Manggala. Cowok itu sudah keterlaluan. Dia berbicara dengan mudahya padahal tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya. Yang Manggala tahu hanyalah tentang Kanaya. Kanaya yang lemah lembut yang bernasib malang.

"Gue bukan mau belain Manggala. Niat dia tadi cuman biar enggak ada keributan. Dia nggak mau lo masuk BK lagi karena masalah ini. Dia sama kayak lo. Benar, tapi salah. Maksudnya bener, tapi caranya yang salah."

"Gue ngerti," balas Gista cuek.

"Jangan lo benci dia ya, Gis. Manggala itu orang baik."

Gista mendengus geli. Orang baik? Bahkan, Gista sudah menjadikan cowok itu sebagai tersangka kedua pelaku pemerkosaan itu setelah pamannya. Karena hal itu sulit untuknya bisa melihat kebaikan Manggala. Yang ada hanyalah kebencian saja.

Melihat Gista yang masih saja diam. Kaivan menghela napasnya. Cewek itu sepertinya juga menaruh kesal padanya karena ia yang tidak mau membantunya mencari si pelaku.

"Lo beneran mau tau alasan kenapa gue nggak bisa bantuin lo nyari tahu semuanya? Kenapa gue memilih ingkar sama janji kita?" kata Kaivan tiba-tiba yang membuat Gista mengalihkan atensinya seluruhnya pada cowok itu.

Kaivan maju beberapa langkah di depan Gista. Dia berdiri tepat di tepi rooftop sampai ujung sepatu yang cowok itu kenakan juga tidak menapak. Menarik napas lalu membuangnya pelan. Kaivan berbalik menuju Gista untuk memulai bercerita.

"Lo masih inget, kan, pas lo bilang sebelum kakak lo bunuh diri dia sempet kabur dari rumah dan baru pulang pagi harinya?"

Kaivan mendongak. Menerawang langit biru cerah tanpa awan di atas sana.

"Dia itu dari rumah gue, Gis."

Jakarta, Juli 2020

Gorden jendela kamar Kaivan bergerak-gerak tertiup angin. Membuat angin malam nan dingin itu masuk dan menusuk pori-pori cowok yang tengah mengenakan kaus putih polos itu hingga bulu kuduknya berdiri.

Kaivan menelan ludah melihat siluet sosok tinggi berambut panjang di balik gordennya yang bergerak tertiup angin karena ia lupa mengunci jendela sore tadi. Laki-laki itu bergeming di tempat dengan tubuh gemetar. Lampu kamarnya sudah ia matikan. Namun, penerangan di luar kamarnya yang masuk ke celah jendelanya membuat ia bisa melihat sosok itu yang berdiri di luar jendela. Sekali saja angin bertiup kencang dan menyibakkan gorden, Kaivan yakin ia bisa melihat sosok yang ia yakini hantu itu dengan  jelas.

Mengabaikan jendelanya yang belum ia tutup, cowok itu berniat melompat ke kasur untuk berpura-pura tidak tahu agar tidak diganggu sampai suara seseorang yang ia kenali membuat keningnya berkerut.

"Kai... Kaivan."

Kaivan membalikkna badannya.

"Ini gue... Kanaya."

Sontak Kaivan segera berjalan menuju jendela dan menyibak gordennya. Mata sipitnya membola mendapati sosok perempuan tinggi putih dengan rambut hitam sepinggangnya tengah berdiri menatapnya sayu.

"Nay, kamu ngapain?"

Kaivan langsung melompat turun melalui jendela. Begitu ia berdiri di depan Kanaya. Cewek itu langsung menubruknya dan menyembunyikan wajahnya di antara ceruk leher Kaivan.

"Nay."

"Sebentar, Kai. Biarin kayak gini dulu. Lima menit aja."

Kaivan menurut. Dia membiarkan perempuan cantik di depannya itu memeluknya. Ia juga membalas pelukan Kanaya. Mengusap punggung  gadis itu dengan gerakan seirama dan sesekali mengecupi puncak kepalanya dengan lembut.

GISTARA (END) Where stories live. Discover now