"Bohong!" Gista masih saja kukuh dengan argumennya.

"Gista. Bukan Om pelakunya. Om punya alesan kenapa Om nggak mau menyelidiki masalah ini lebih lanjut selain karena kejadian ini sudah lama."

Revan menarik kursi untuk ia duduki. Lalu, meletakkan kedua tangannya yang saling bertaut di atas meja.

"Niat awal Om ngerobek foto itu karena Om enggak mau aib Kanaya diketahui oleh orang lain. Selama ini yang tahu soal Kanaya hanyalah keluarga kita, Kaivan, Mahen, dan Devan. Selain itu tidak ada yang tahu. Makanya Om sobek foto itu biar enggak ada yang ngelihat fotonya," terang Revan menatap robekan foto yang berada di atas meja.

"Om nyuruh mereka pergi karena Om  tahu mereka pasti enggak bakalan ngaku."

Tatapannya kini beralih pada Gista yang ternyata sudah memerhatikannya. "Dan perlu kamu tahu. Bukan Om yang ngasih mawar putih ke makam kakak kamu. Waktu Om ke sana. Sudah ada dua tangkai mawar putih di atas makan Kanaya."

Hening. Tidak ada yang berbicara. Mereka sama-sama sibuk dengan pemikirannya masing-masing setelah mendengar penuturan Revan barusan.

Gista baru ingat jika Revan tadi membawa keranjang tempat bunga.

"Jadi, bukan Om Revan yang naruh bunga mawar itu?"

Revan mengangguk. "Om cuman bawa bunga yang Om taburkan ke makam kakak kamu. Bahkan, Om enggak tahu kalau ternyata Kanaya itu suka sama mawar putih."

***

Revan menyandarkan punggungnya di kursi usai menjelaskan semuanya pada Gista mengenai alasan kenapa ia mengunjungi kamar Wening malam itu karena ia juga merasa gagal menjaga Kanaya yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

Mahen dan Ganes bungkam. Keduanya masih berdiri di tempatnya. Sementara, Gista duduk di kursi dengan tatapan kosong ke depan.

Kalau pelaku itu bukan salah satu dari anggota Balapati. Kenapa foto itu dikirim ke sini. Dan apa tujuannya?Apa Gandaruka tahu sesuatu mengenai kejadian yang menimpa Kanaya? Atau jangan-jangan pelaku sebenarnya itu adalah anak Gandaruka?

Pertanyaan semacam itu timbul tenggelam di kepala Gista. Kepalanya terasa pening dan mau pecah memikirkan hal itu.

"Gista," panggil Revan pelan yang tidak ditanggapi oleh gadis itu. Dengan semua penjelasan tadi ia percaya jika Revan bukan pelakunya. Tetapi, ia masih menaruh curiga kalau Revan menyembunyikan sesuatu yang lain pada dirinya.

"Om mohon sama kamu. Berdamailah sama keadaan. Semakin kamu mencari tahu siapa pelaku itu. Kanaya akan semakin sedih di sana." Mata hitam legam Revan menatap lekat keponakannya yang kini sudah memerhatikannya.

"Orang yang sudah meninggal itu tidak akan tenang jika yang ditinggalkan masih belum merelakan. Yang mereka mau itu bukan air mata kesedihan sebagai tanda rasa sayang yang teramat besar. Tetapi, yang mereka harapkan adalah doa supaya mereka tenang di alam sana."

"Gista udah relain kepergian mereka, tapi Gista enggak bisa maafin perbuatan yang udah orang itu lakuin ke Kak Naya, Om. Gista nggak bisa terima soal yang satu ini," kata Gista pelan.

"Gara-gara bajingan yang bahkan Gista nggak tahu siapa dia sampe Gista lancang nuduh Om. Kak Naya sama papa pergi ninggalin Gista. Dan sekarang mama sakit. Sampe kehadiran Gista aja enggak pernah mama sadari. Mama ada di dunianya sendiri yang enggak bisa Gista masuki, Om."

Paham dengan apa yang dirasakan oleh keponakannya. Revan berdiri lalu menghampiri Gista. Membawa tubuh keponakannya itu di dalam pelukannya. Gista tidak menolak. Meski, ia tadi sempat menuduh Revan  itu bajingan. Tetapi, hatinya merasakan hal yang lain ketika Revan mendekapnya. Dekapan ini sama seperti dekapan Erlan. Dekapan yang selama satu tahun ini sangat ia rindukan.

Menenggelamkan wajahnya di dada bidang Revan. Gista berucap lirih, "Maafin Gista udah nuduh Om tanpa bukti. Gista cuman takut kalau pelakunya itu beneran Om Revan. Orang yang enggak mungkin bisa aku benci karena udah aku anggap kayak ayah sendiri. Gista cuman takut enggak bisa menerima semuanya, Om."

Ada penyesalan di dalam lubuk hatinya yang paling dalam karena telah menuduh Revan. Seharusnya ia juga berpikir menggunakan nalar bukan hanya berdasarkan apa yang ia lihat. Padahal, belum tentu itu benar.

Seharusnya ia berpikir jika memang Revan pelakunya dan semua atas dasar nafsu bejatnya. Ia bisa jadi akan  menjadi target selanjutnya. Terlebih ia tinggal di rumah Revan. Akan lebih mudah Revan melakukan hal itu padanya jika memang laki-laki itu yang menghamili Kanaya.

Akan tetapi, selama ini Revan begitu menyayanginya. Bahkan ia rasa kasih sayang yang Revan berikan untuknya itu lebih besar ketimbang pada kedua putranya sendiri. Tidak hanya sekali. Beberapa kali Revan pernah menegurnya karena keluar dengan celana pendek. Revan juga sering mencemaskannya jika ia pergi sendirian dan tak kunjung pulang. Bukan hanya itu saja. Selain memasukkannya untuk ikut bela diri. Revan juga mengajarinya bela diri ketika waktu senggang. Katanya untuk jaga-jaga jika ada lelaki yang menggodanya.

Sampai situ seharusnya Gista paham. Jika Revan begitu menjaganya. Jadi, tidak mungkin jika lelaki itu yang melakukan hal tidak senonoh pada Kanaya.

"Tidak apa-apa. Om paham dengan apa yang kamu rasakan, Gista," ucap Revan. Ia lega ketika Gista tidak lagi menuduhnya yang tidak-tidak.

"Om tidak akan melarang kamu untuk mencari tahu siapa pelakunya. Tapi, Om minta dengan sangat sama kamu. Berhenti menaruh dendam padanya. Dendam itu bukan hanya akan meyakitimu,Gista. Tapi, juga akan menyakiti orang lain," ujar Revan mengurai pelukannya.

"Maksud Papa?" Ganes merasa ada sesuatu terisrat yang papanya sampaikan lewat kata-kata itu.

"Semakin kamu membenci. Bara api di dadamu itu akan semakin membara. Kamu akan semakin sulit menemukan kebahagian karena terlalu sibuk memikirkan dendam. Dan karena itu akan ada orang lain yang tersakiti karena melihat kamu yang tidak bisa bahagia, Gista," ujar Revan seakan sarat akan makna.

Laki-laki parubaya yang masih terlihat gagah dan berwibawa itu memusatkan tatapannya pada Gista. "Jadi, Om minta sama kamu buat berdamai dan bahagia ya?"

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Where stories live. Discover now