Revan kini berdiri di tengah-tengah keduanya.
"Mahen. Saya minta kamu katakan siapa ketua Balapati yang kamu sembunyikan identitasnya itu. Kita tidak ada yang tahu apa motif dia menyembunyikan identitasnya. Bisa jadi dia ini penyusup yang mau menghancurkan Balapati," ujar Revan berpendapat. "Sudah cukup kamu menyembunyikan rahasia sebesar itu dari kami."
Gista yang semula hanya diam saja dengan tangan yang mengepal dan mata yang menyorot tajam ke arah Revan. Berdiri lantas menggebrak meja hingga menimbulkan suara yang begitu keras.
Brakkk
Ketiga laki-laki itu tersentak dan mengalihkan atensinya pada Gista.
"Seharusnya saya yang mengatakan hal itu pada Om Revan. Sudah cukup menyembunyikan bangkai Om selama ini!"
Ganes melotot. Dia tidak percaya Gista bisa berkata seperti itu pada ayahnya. "Maksud lo apaan sih, Gis?"
Mengabaikan pertanyaan Ganes. Gista berjalan pelan memutari meja menuju ke arah ketiga lelaki yang berada di ruangan ini.
"Sebelum Om Revan ngedesak Bang Mahen buat ngasih tau siapa ketua Balapati itu. Sebaiknya Om Revan buka dulu bangkai yang Om sembunyikan selama ini."
Gista sengaja menekan kata "bangkai" agar Revan paham dengan apa yang maksud. Meski, sebenarnya tak perlu. Karena tanpa Gista jelaskan pun Revan paham kemana arah pembicaraan Gista.
"Gista. Lo ngomong apaan sih? Gue nggak ngerti sama apa yang lo maksud?" Ganes benar-benar tidak mengerti apa yang Gista maksud. Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi karena pusing yang tiba-tiba melandanya.
"Bangkai? Bokap gue nyembunyiin bangkai apa?"
Bukannya menjawab Gista malah berdiri di depan Revan dan menatapnya penuh amarah. Kesopanan yang ia miliki untuk om-nya seolah lenyap begitu saja karena amarah yang meletup-letup di dadanya. Bercampur rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya hingga rasanya ia ingin menghabisi orang yang berada di hadapannya saat ini juga.
Seseorang ketika telah dikuasai oleh amarah. Ia memang tidak akan bisa berpikir jernih. Semua yang dia lakukan dan ucapkan saat itu hanyalah berdasarkan amarahnya saja. Dia tidak bisa berpikir dua kali. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah bagaimana bisa melampiaskan semua emosinya. Tanpa memikirkan bagaimana nantinya.
"Bangkai paling busuk yang pernah gue temuin di dunia ini," jawab Gista akhirnya yang telah benar-benar kehilangan rasa hormat dan sopan santunnya pada Revan.
Nada bicara Gista terdengar mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya. Termasuk Revan. Laki-laki itu bisa melihat pancaran amarah dari mata elang Gista yang bak laser yang siap menembus jantungnya.
Bisa laki-laki itu lihat sosok Erlan yang begitu keras dan tidak memiliki rasa takut pada siapapun itu pada diri Gista. Sepertinya Gista memang mewarisi seluruh sifat Erlan.
Revan menghela napas berat. Namun, tidak mengatakan apapun. Membiarkan keponakannya ini mengeluarkan segalanya. Kejadian seperti ini memang sudah ia duga sebelumnya.
"Om pikir Gista enggak tahu busuknya Om Revan!" Gista terkekeh sinis. "Om salah. Gista tahu semuanya, Om."
Benar dugaanku. Gista itu anak yang cerdas. Dia pasti akan mencari tahu semuanya, batin Revan.
"Om Revan ngebiarin orang-orang tadi bebas karena Om enggak mau rahasia Om terbongakar, kan? Makanya Om juga mau ngerobek foto tadi biar enggak ada yang ngenalin siapa orang di balik foto itu."
Revan membelalakkan matanya. Ternyata Gista sudah berpikiran sampai sejauh itu.
"Padah orang yang ada di balik foto itu adalah Om Revan sendiri," tandas Gista mengeram marah.
Mahen dan Ganes sontak memusatkan pandangan mereka kepada Revan. Mahen menatap Revan tak percaya. Sementara, Ganes menatap laki-laki itu dalam diam. Deru napas laki-laki itu memburu. Namun, ia memilih bergeming di tempatnya.
"Om Revan, kan, yang udah memperkosa Kak Naya?" tanya Gista dengan amarah yang telah memuncak.
"Gista emang nggak punya bukti apapun, Om. Tapi, Gista bisa lihat gelagat Om revan selama ini."
Gista mundur selangkah. Dadanya terasa terhimpit batu saat ini. Sangat sesak. Sampai rasanya ia sangat sulit untuk bernapas. Dengan susah payah Gista bersuara juga menahan air mata yang telah menggenang di pelupuknya hingga matanya memerah.
"Dulu. Saat Papa maksa Kak Naya buat ngaku siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Dia menatap takut ke arah om Revan sama tante Wina. Lalu, ketika Gista minta sama kalian buat nyari tahu siapa pelaku itu setelah kepergian Kak Naya. Om Revan bilang kalau itu nggak perlu lagi dicari dengan alasan karena mau fokus ke kondisi mama."
Tidak ada yang berbicara maupun memotong ucapan Gista. Mereka semua hanya diam dan mendengarkan Gista selesai berbicara. Mereka sama-sama tahu Gista paling tidak suka bila ucapannya yang belum selesai itu dipotong.
"Dan lagi. Dua kali. Dua kali Gista lihat Om Revan diem-diem merhatiin mama dari kejauhan. Gista juga denger sendiri Om Revan bilang maaf karena enggak bisa jagain kak Naya waktu om masuk ke kamar mama malem-malem," ungkap Gista dengan air mata yang telah meleleh di pipinya. "Sendirian."
"Apa lagi? Apa lagi yang mau Om jadiin alesan?!" Gista berteriak.
"Sore tadi Om Revan juga ke makam Kak Naya dengan alasan mampir. Padahal, sebenarnya Om tahu, kan, kalau hari ini hari ulang tahunnya Kak Naya? Makanya Om ke makamnya buat ngasih dua tangkai bunga mawar putih kesukaan Kak Naya."
"Gista tadi lihat Om tadi kayak habis nangis? Kenapa? Karena Om ngerasa bersalah sama Kak Naya? Atau sama Papa?!"
"Jawab, Gista, Om!" Gista mengguncang tubuh Revan yang hanya membisu tanpa mau menjawab pertanyaannya.
"Kenapa Om Revan diem aja?"
Tidak ada jawaban dari laki-laki parubaya itu. Membuat Gista tahu apa jawabannya.
"Jadi, dugaan Gista itu bener kalau Om Revan itu pelakunya?"
-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata
YOU ARE READING
GISTARA (END)
Teen FictionKejadian yang menimpa kakaknya membuat Gistara Arabhita membenci cowok. Dia menganggap semua cowok itu sama, yakni tiga B yang berarti belang, bejat, dan berbahaya. Akan tetapi, Gista yang membenci cowok terpaksa harus terus berurusan dengan Mangga...
Bab 26
Start from the beginning
