23. Semaumu

5 3 0
                                    

Sephia –Chapter 23

    
    
             Kamu membangun jarak denganku. Kamu tidak membalas pesanku, kamu selalu menolak telepon dariku. Aku mencoba untuk menenangkan diri. Namun sekuat apapun aku mencoba, aku tidak dapat menutupinya. Aku kacau. Segalanya kacau.

Aku sudah terbiasa dengan sehari, dua hari, tanpa kabar darimu. Tapi mengingat perselisihan yang terjadi diantara kita, aku takut, Vin. Aku sudah memberikan segalanya untukmu. Bukan berarti aku menyesalinya, tapi karena aku benar-benar sudah menaruh harapan setinggi itu akan hubungan kita. Aku tidak ingin ini berakhir hanya karena masalah seperti ini.

Pada dasarnya kita adalah dua orang yang berbeda. Memiliki kelebihan dan kekurangan di berbagai sisi. Tapi bukankah itu alasan untuk kita saling melengkapi? Kamu tentu bukan sosok yang sempurna, tapi di mataku kamu sudah cukup untukku. Cukup kuat untukku berlindung, cukup nyaman untukku bersandar dan cukup hangat untukku berbagi senyuman. Aku tidak pernah menuntutmu sempurna, jadi jangan gunakan itu sebagai alasanmu untuk pergi. Aku tidak bisa menerimanya, Vin.

"Galau mulu," aku mengangkat kepalaku dari meja. Rara sudah datang dengan dua botol minuman dingin.

Dia menyodorkan sebotol padaku, "Thanks." Balasku.

"Cheers up. Sudah cukup lama lo kayak gini dan itu sama sekali tidak baik."

Rara tentu tahu bagaimana keadaanku beberapa hari terakhir ini. Kami berkuliah di kampus yang sama. Meski kami berbeda jurusan, tapi dia adalah orang yang paling sering kutemui.

"Itulah kenapa gue nggak suka romance." Rara adalah sosok yang paling rasional diantara temanku. Tidak heran bahwa dia mengatakan hal itu. Itu juga salah satu alasanku tidak pernah membagi cerita kita padanya.

"Tapi sepi kan?" Lanjutnya. "Kadang gue juga merasa kesepian." Dia memperjelasnya.

Rara membuka tutup botol minumannya. Membiarkan beberapa teguk cairan membasahi tenggorokannya.

Dia menghela napas, kemudian kembali menoleh ke arahku. "And I hate being lonely." Terkadang aku lupa bahwa sekeras apapun dia, Rara tetaplah seorang gadis normal.

"Me too, Ra."

***

Aku tidak tahu apa yang membuatmu mengangkat teleponku setelah beberapa kali kamu menolaknya. Aku begitu mengganggumu ya, Vin? Maaf, tapi aku benar-benar tidak ingin kamu meninggalkanku.

Kita berbicara cukup dalam. Kamu mengutarakan semua dari sisimu. Kamu menceritakan berbagai kesibukanmu dan alasan-alasan lain yang membuatmu tidak memiliki cukup waktu untukku.

Aku meminta maaf atas sikapku tempo hari. Aku akan mencoba lebih memahamimu. Tapi... Kenapa responmu seperti itu, Vin?

"Aku bakal jarang hubungi kamu." Kamu seperti ingin mendorongku untuk mundur.

"Iya, nggak papa. Aku coba ngertiin."

Kamu terdiam. Seperti itu bukan jawaban yang kamu harapkan. Tapi kenapa, Vin?

"Aku pengen fokus kuliah dulu." Karena aku bersikeras untuk tinggal, maka kamu yang memilih untuk mundur.

Aku menahanmu. Kujanjikan segala hal untukmu asal kamu tetap di sisiku. Kamu menoleh padaku untuk sementara. Hanya sementara, sebelum kamu benar-benar pergi dariku.

Hubungan itu tentang dua orang. Jika hanya salah satu yang bertahan, tentu itu adalah sebuah kesia-siaan. Tapi aku terlalu picik. Aku berpikir aku ini kuat. Dan aku masih berharap, kita akan kembali seperti dulu.

Ini hanyalah sebuah rintangan yang harus kita lalui. Ini hanyalah sebuah cobaan yang harus kita hadapi. Akan tiba waktunya, hal-hal seperti itu justru akan memperkuat hubungan kita. Pikirku.

Tapi aku lupa, itu hanyalah pemikiranku. Sementara dirimu... sepertinya tidak berpikir seperti itu. Aku tahu itu. Namun kenapa aku masih begitu keras mencoba?

Pada akhirnya apapun yang kulakukan tidak dapat menahanmu.

***

Aku tidak suka berbagi masalah. Namun Cindy dan Rara memaksaku bercerita. Mereka dengan lapang dada bersedia menjadi tempatku berbagi –sekalipun itu adalah sebuah masalah. Cindy selalu berbagi apapun, Rara juga pernah berbagi masalah kuliahnya bahkan keluarga, hanya aku yang selalu diam. Kini tiba giliranku. Aku tidak perlu khawatir karena itulah gunanya sahabat, mereka bilang. I'm so blessed to have them in my life.

"Sinting. Emangnya pacaran sama lo itu butuh fokus lebih gitu?" Cindy terlihat jengah.

"Emang dia kuliah atau ngurus negara sih? Sok sibuk banget." Tambahnya.

"Bukan gitu. Tapi gue paham maksud Gavin. Dia nggak ingin fokus kuliahnya berantakan karena pengaruh emosional." Aku sependapat dengan Rara. Aku mengalami sendiri bagaimana emosi ini mengacaukan kehidupan kuliahku. Sedangkan aku tahu betul sebesar apa tekadmu menggapai impianmu di masa depan.

"Heh! Dia dulu bilang ke gue punya pacar itu bisa jadi support system."

"People changes, Sin."

"Tapi apa sebabnya? Seenaknya aja bilang pengen fokus kuliah. Basi!"

"Orang pacaran aja mesti atas persetujuan bersama. Kenapa pas putus dia sendiri yang memutuskan?"

"Kita nggak putus, Sin." Tegasku.

"Terus status kalian ini sekarang apa?"

Dari awal kamu memang tidak pernah memberiku kepastian, Vin. Seperti saat awal kita dekat. Kamu menarik ulur diriku untuk waktu yang cukup lama. Membuatku bingung akan sikapmu.

Lantas kenapa aku masih menaruh hati padamu? Entahlah, hanya saja itu bukan sesuatu yang dapat aku kontrol. Apalagi saat itu aku masih terlalu muda dan berpemikiran sempit.

-&-

Sephia : Sepenggal Kisah di Masa LaluOnde histórias criam vida. Descubra agora