24. Akhir -End

29 3 2
                                    

Sephia -Chapter 24

Karena pengalihan arus lalu lintas aku terpaksa berbelok arah, mengikuti kendaraan di depanku, mencoba mencari jalan alternatif.

Tunggu...

Aku menertawakan diriku sendiri karena tanpa sadar aku justru menyusuri jalan yang dulu sering kita lalui. Sudah berapa lama aku tidak melewati jalan ini? Aku bahkan tidak tahu bahwa sekarang sudah banyak berdiri cafe dan tempat tongkrongan sejenisnya di daerah ini.

Saat aku memutuskan untuk benar-benar melepasmu, aku berusaha untuk menghindari apapun yang dapat membuatku mengingatmu. Aku berusaha sekeras itu, karena tidak cukup untukku hanya dengan menghapus kontakmu.

Aku memelankan laju kendaraanku saat aku tidak dapat menemukan tempat yang harusnya cukup ramai di jam seperti ini. Aku menyipitkan mataku untuk membaca sebuah plakat yang tertempel, 'Greysia Florist' tulisnya. Bahkan warung nasi goreng langgananmu dulu, sekarang sudah berubah menjadi toko bunga.

Ingatanku kembali membawaku padamu.

Kita tahu hubungan kita tidak baik-baik saja, namun aku mencoba untuk bersikap biasa. Siang tadi kamu baru tiba dari Jogja dan sorenya kamu mengajakku untuk keluar.

"Ke warung nasi goreng Bang Ali ya?" Kamu bilang kamu merindukan nasi goreng buatan pria bertubuh gempal itu. Padahal aku yakin di Jogja pun pasti banyak berjajar warung nasi goreng. Soal makanan aku tidak sepemilih dirimu. Bagiku nasi goreng ya seperti itu rasanya-—aku bingung menjelaskannya.

Kamu melajukan motormu membelah jalan beriringan dengan matahari yang mulai terbenam.

"Wah, rame nih Bang. Masih ada tempat nggak ya?" Tanyamu saat melihat banyak kendaraan yang sudah terparkir di depan kios.

"Bentar...," Salah satu pegawai Bang Ali mencoba mencarikan kita meja. "Nah, itu kosong. Tapi diberesin bentar ya." Kamu mengangguk kemudian mengikuti langkah lelaki itu. Aku mengikutimu dari belakang.

"Pas banget, Bang. Bisa mojok." Candamu.

Aku pikir kamu akan membahas beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini. Bukankah lebih enak jika dibicarakan secara langsung? Namun kamu memilih diam. Dan aku lebih memilih mencoba bersikap biasa saja seperti yang sudah kulakukan beberapa jam yang lalu.

Biasanya memang kamu yang lebih banyak bicara namun hari itu kamu lebih banyak memainkan ponselmu daripada mengajakku mengobrol.

Aku menatapmu penasaran saat kamu mencoba menahan tawamu sambil mengetik sesuatu di ponselmu.

Apa yang membuatmu terlihat sebahagia itu, Vin? Aku yakin itu bukan karena kehadiranku. Aku di depanmu tapi kamu bahkan tidak melihatku. Tidakkah kamu merindukanku, Vin?

Kamu baru meletakkan ponselmu saat makanan pesanan kita datang. Bahkan sesekali kamu masih mengecek ponselmu di sela kunyahanmu. Aku semakin tidak berarti di hadapanmu.

Pulangnya kita berhenti sebentar di SPBU karena kamu harus ke toilet. Aku menunggumu di atas motor. Aku menatapmu yang sudah berjalan menjauh kemudian melirik ponselmu yang kamu tinggal di dashboard motor. Benda itu menyala, menandakan sebuah pesan masuk.

Kita tidak pernah mengecek ponsel satu sama lain sebelumnya. Memangnya untuk apa? Kita tidak memiliki alasan untuk melakukannya dulu. Tapi sekarang? Aku sadar saat tanganku meraih ponselmu, namun aku tidak berniat menghentikannya.

Kutekan tombol power di bagian bawah ponselmu. Benda pipih itu kembali menyala. Sebuah pesan dapat kubaca dari notification bar.

Winda : Iya, aku tunggu balik Jogja ♥️

Sephia : Sepenggal Kisah di Masa LaluМесто, где живут истории. Откройте их для себя