21. Bertahan

3 3 0
                                    

Sephia -Chapter 21



Membiarkanmu kembali ke Jogja tanpa mengutarakan kegelisahanku adalah kesalahanku. Dalam suatu hubungan, komunikasi adalah kunci utama. Harusnya aku tidak menyembunyikan apapun darimu. Tapi saat itu aku hanya tidak ingin membebanimu. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasi belajarmu.

"Tante minta kamu dukung Gavin ya. Tolong biarkan dia fokus dulu dengan kuliahnya." Mungkin kamu tidak tahu, tapi ibumu pernah meminta itu padaku.

Sebenarnya hubunganku dengan ibumu tidak buruk, namun juga tidak sehangat hubungan ibumu dengan Bella. Tapi saat beliau mengatakan itu padaku, jujur saja hatiku terluka. Ini hanya pikiranku saja atau ibumu ingin aku melepasmu? Air mataku hampir menetes saat itu, namun aku tetap menganggukan kepala.

"Ngelamunin apa sih?"

"Ha?"

"Daritadi diem aja. Ada masalah?"

"Oh, enggak kok."

"Sesedih itu ya mau aku tinggal lagi," godamu.

"Banget," dan tanpa bisa aku tahan lagi, air mataku menetes, kemudian aku mulai terisak. Kamu terlihat bingung, namun segera menarikku ke dalam pelukanmu. Aku menangis.

Perasaan bingung dan takut bercampur dalam hatiku. Tapi aku bahkan tidak bisa mengutarakannya padamu. Aku hanya bisa menangis dalam pelukanmu. Kamu menepuk pelan punggungku, mencoba menyalurkan kenyamanan.

Terlalu nyaman. Aku tidak dapat melepaskannya.

Bagaimana bisa aku membayangkan diriku menjalani hari tanpamu, Vin? Tidak, aku tidak bisa.

Aku melepaskan diri dari pelukanmu. Menyeka air mataku dengan ujung jaket yang kukenakan. Memaksakan sebuah senyuman. Aku berusaha mengatur nafas, "Huftt... Maaf ya tiba-tiba aku jadi mellow gini."

"Maaf, udah bikin kamu sedih."

Aku menggeleng, "Enggak, akunya aja yang lagi dapet. Makanya jadi sensi gini."

Kamu mengulurkan tanganmu ke wajahku. Menghapus sisa air mata yang masih tertinggal di sana. Namun justru setetes air mata kembali keluar dari pelupuk mataku.

Aku kalut.

"Bertahan ya." Pintamu.

Aku berusaha menahan diri dan mengatur emosi. Aku tetap bertahan seperti yang kamu minta. Tidak ada yang berubah dariku. Hatiku masih tetap sama.

Lalu perubahan apa yang kamu maksud, Vin?

Bukankah kamu satu-satunya yang berubah?

Saat aku menangis, kamu tak lagi menariku ke dalam pelukanmu. Kamu justru melangkah pergi. Seakan aku pantas untuk menerimanya.

Kamu tidak lagi ada di sisiku. Tanganmu tidak lagi menyeka air mataku. Kakimu tak lagi berjalan ke arahku. Dan hatimu bukan lagi untukku.

Aku benar-benar merasa kehilangan.

***

"Kalau kangen ya telpon. Ribet amat sih dari tadi buka tutup hp."

"Gue takut ganggu."

"Ya udah tinggal kirim chat juga." Haruskah?

Aku mengetik pesan singkat untukmu. Jariku hampir menyentuh tombol send namun sisi lain diriku mencoba menghentikanku. Kuletakkan kembali ponselku.

Seperti cowok pada umumnya, kamu jarang menghubungiku terlebih dahulu. Biasanya akulah yang memulai dan kamu akan meresponnya. Bukankah aku juga yang memintamu untuk menjadi pacarku? Ternyata aku dulu seagresif itu ya, Vin.

Sephia : Sepenggal Kisah di Masa LaluWhere stories live. Discover now