18. Manis

7 3 1
                                    

Sephia —Chapter 18


                  Orang bilang lebih mudah mengingat kesalahan orang lain dibanding dengan kebaikan yang telah mereka lakukan. Mungkin kalimat itu ada benarnya, karena sekarang aku cukup sulit untuk mengingat hal-hal baik yang telah kamu lakukan padaku. Segalanya terlihat samar dalam ingatanku. Seolah sudah terhalang oleh rasa sakit yang telah kamu tinggalkan.

Dan bodohnya, kenapa aku begitu lemah menghadapinya? Kenapa rasa sakit itu bertahan terlalu lama dalam diriku? Aku bahkan tenggelam di dalamnya, tanpa berniat berenang ke permukaan.

Tentu saja kamu pernah bersikap baik dan manis di depanku. Jika tidak bagaimana bisa aku jatuh padamu. Hanya saja kini semua sikap baikmu dulu menjadi tanda tanya diriku di masa sekarang. Kenapa aku menjadi seperti ini, Vin?

Dulu aku selalu mempercayaimu, bahkan setiap kata yang keluar dari bibirmu tanpa kutahu kebenarannya. Aku hanya terlalu mengagumimu dulu. Kurasa begitu...

"Kenapa?" Tanyaku tanpa suara saat kamu hanya berdiri di sampingku tanpa berniat melakukan hal lain.

Kamu hanya tersenyum sambil menggeleng pelan namun matamu itu masih menatap dalam ke arahku. Tatapanmu yang begitu tenang, hingga tanpa sadar aku tenggelam di dalamnya untuk beberapa saat.

"Permisi Kak." Aku tersadar saat seseorang menegur kita yang menghalangi jalan.

"Ah, iya. Maaf." Aku menggeser pelan tubuhku, begitupun denganmu. Aku merasa malu namun kamu justru menertawakanku.

"Kok malah ketawa sih. Kamu itu jadi mau cari kado buat adek kamu nggak sih?"

"Ya, jadi."

"Ya terus jawab dong. Jangan bengong aja. Aku kan nggak tahu dia sukanya apa." Ucapku kesal.

"Dia suka apapun kok asal warna pink."

"Ini aja gimana?" Aku mengambil asal sebuah boneka beruang.

Kamu hampir membuka mulutmu, tapi aku lebih dulu memotongnya. "Tapi boneka terlalu mainstream." Aku meletakkan kembali boneka itu ke tempat semula.

"Lagi pula pasti dia juga udah banyak boneka kan?" Tambahku. Kamu mengangguk membenarkan, seolah aku tahu betul adik perempuanmu itu. Padahal sekalipun aku belum pernah bertemu dengannya. Hanya saja kamu sering menceritakan betapa maniaknya adikmu itu dengan warna pink. Dan jangan lupakan juga, kamu sering menemaninya menonton kartun.

"Ah.. ini aja gimana?" Aku mengambil sebuah kotak musik berwarna merah muda.

"Boleh." Jawabmu santai.

Aku langsung melihat label harga. "Ishh mahal. Jangan... Nggak berfaedah juga."  Aku meletakkan kembali benda tersebut kemudian menyeretmu ke tempat lain. Mencoba mencari benda yang lebih bermanfaat. Namun tak juga dapat aku temukan.

"Vin."

"Hmm?"

"Aku bingung."

Dan untuk kesekian kalinya kamu justru kembali tersenyum. "Kamu kenapa sih senyum-senyum mulu?" Tanyaku kesal.

"Lucu aja."

"Aku nggak lagi stand up."

"Lucu aja kamu ribet milih ini itu. Tapi pada akhirnya nggak jadi beli. Mirip mamaku."

"Mamamu begitu?"

"Iya. Mamaku itu nggak suka ke mall apalagi belanja-belanja barang gitu. Super irit juga, mahal dikit langsung taruh lagi."

"Tapi tetep bawel 'kan?"

"Iya, kayak kamu."

"Aku bawel?" Aku menunjuk diriku sendiri.

Sephia : Sepenggal Kisah di Masa LaluWhere stories live. Discover now