Gista melotot. Hendak memaki Manggala. Tapi, Manggala kembali melanjutkan perkataannya.

"Permintaan pertama... jadi pacar gue."

"Lo mau gue bantai?!" sembur Gista. Kedua bola matanya melebar sempurna.

Hal itu sontak mengundang tawa bagi Manggala. Baru kali ini ia menjumpai seorang cewek yang diajak pacaran malah mau adu otot. Di Cantaka banyak cewek yang mengantri untuk ia jadikan pacar bahkan tak tanggung-tanggung ada yang sampai menembaknya terlebih dahulu. Namun, tidak ada yang Manggala terima. Manggala jadi semakin penasaran dengan masa lalu gadis yang katanya senggol bacok ini.

Mendengus sebal cewek itu berniat berlalu begitu saja dari hadapan pemimpin pasukan tempur Balapati yang secara tidak langsung telah membuatnya malu bercampur kesal itu. Namun, sebuah tangan menahan lengannya. Refleks Gista berbalik dan menendang tulang kering cowok itu dengan keras.

Shit!

Manggala mengumpat dalam hati. Belum ada setengah hari. Sudah dua kali si singa betina Cantaka itu menendang tulang keringnya dengan keras. Mana rasanya sakit sekali. Sudah bisa ia pastikan bekas tendangan itu akan berwarna keunguan nanti malam. Berubah menjadi lebam.

"Nggak usah pegang-pegang gue! Mau gue bantai beneran lo?" Mata setajam elang itu membidik tepat pada manik mata cowok beralis tebal di hadapannya.

Pasrah. Manggala mengangkat kedua tangannya ke atas. Layaknya buronan yang tertangkap oleh polisi.

"Oke," ujarnya.  "I am sorry. Gue udah lancang nyentuh lo. Gue cuman pengin nawarin lo pulang bareng."

Lagi-lagi Gista mendengus.

Apa? Pulang bareng? Manggala pikir Gista akan semudah itu percaya dengan seorang laki-laki. Terlebih modelan aligator kelas kakap seperti Manggala. Jawabannya tidak sama sekali!

"Gue nggak tertarik dengan tawaran lo."

"Ini bukan tawaran. Tapi, perintah!" tandas Manggala serius.

Hah? Siapa dia berani memerintahnya?

"Tapi, gue nggak mau dan nggak peduli," balas Gista acuh tak acuh.

"Dan gue juga nggak peduli lo mau apa enggak. Karena gue enggak menerima penolakan!"

Gista tertawa dalam hati. Manggala tengah menggunakan jurus pamungkas ala cowok wattpad. Gista tahu seberapa berdamage-nya kata "gue enggak menerima penolakan" itu pada anak wattpad. Efeknya bisa buat cewek meleyot tidak karuan atau malah guling-guling kasur sambil menggigiti bibir bagian dalamnya menahan baper. Bahkan ada yang lebih parah lagi. Yaitu sampai kejang-kejang dan sesak nafas.

Tetapi, itu tidak akan berlaku bagi Gista. Cewek itu selain anti cowok juga anti kata baper.

"Berani lo maksa gue? Lupa gue siapa?" tantang Gista mendongakkan kepalanya menatap sengit cowok bertubuh jangkung di depannya itu dengan sedikit mengangkat dagunya, angkuh.

"Udah deh enggak usah sok-sok an jadi cowok wattpad!"

Anjim! Jadi, nih cewek tau kalau kata-kata tadi itu kata-kata berdamage-nya cowok wattpad?

"Percuma juga gue nggak bakalan mungkin baper sama lo. Gue juga anak wattpad. Gue udah khatam gimana caranya modelan cowok aligator kayak lo itu mencari mangsa."

Sial. Manggala sama sekali tidak menyangka jika si singa betina Cantaka ini juga anak wattpad.

"Inget! Gue nggak bakalan baper sama kata-kata lo. Jadi, nggak usah sok sok an ngebaperin gue," tukas Gista lalu berbalik badan hendak meneruskan langkahnya.

Manggala segera menyahut, "Sekarang mungkin enggak. Tapi, kita enggak ada yang tahu gimana cara kerja semesta nanti. Bisa jadi lo nantinya bakalan jadi cewek yang paling baper sama gue."

Sepertinya jiwa-jiwa aligator bin puitis dalam diri Manggala mulai bangun. Sepertinya ia juga lupa cewek yang sedang ia coba rayu sekarang bukanlah cewek biasa.

"Stop bicara dan sok puitis sama gue. Gue mual dengerin suara lo," sarkas Gista tanpa membalikkan badannya.

Cewek berkuncir kuda itu pun dengan santainya melanjutkan langkahnya. Menyusuri jalan dengan angin sore yang menerbangkan anak-anak rambutnya.

Manggala tersentak. Cewek ini benar-benar lain dari yang lain.

Seakan teringat tujuannya menawari tumpangan pada Gista. Manggala mengejar langkah Gista yang mulai menjauh.

"Gue anterin lo pulang." Manggala menyamai langkah pelan Gista.

"Udah gue bilang gue nggak mau. Gue itu punya kaki. Gue bisa pulang sendiri."

"Ada yang mau gue bicarain sama lo."

"Gue nggak peduli!"

Manggala tidak menyerah. "Please! Gue pengin nanya sesuatu ke lo."

"Ada banyak hal yang pengin gue tahu dari lo."

Gista menghentikan langkahnya. Menghadapkan tubuhnya pada Manggala yang ikut berhenti di sisi kanannya. Menatapnya datar lantas ia berbicara.

"Cukup lo tahu gue itu anak mantan ketua Balapati. Nggak usah berusaha ngulik kehidupan gue kalau cuman karena penasaran kenapa gue bisa sebenci itu sama cowok," terang Gista seolah ia tahu apa yang ada di dalam pikiran Manggala. Seolah ia tahu jika Manggala sama halnya dengan temnnya yang lain. Yang penasaran dengan apa alasan ia begitu membenci yang namanya kaum laki-laki.

Gista kembali meneruskan langkahnya. Manggala bergeming di tempat.

"Bukan tentang lo, tapi tentang seseorang yang pengin gue tahu dari lo," ucap Manggala setengah berteriak karena Gista yang sudah berjalan menjauh darinya.

"Kanaya Nirbitala. Kakak lo. Gue kenal sama dia."

Deg. Langkah Gista terhenti seketika.

"Dia dulu modelnya Bang Harsa, kan?"

Tidak ada jawaban dari Gista. Cewek itu bergeming di tempatnya. Tatapannya lurus ke depan. Rasa benci dan sakit secara bersamaan kembali mencuat ke permukaan hatinya. Benci karena Kanaya harus pergi hanya karena ulah lelaki bajingan tak punya hati yang sampai saat ini belum ia temukan siapa ia dan di mana keberadaannya. Sakit ketika ia mengingat kepergian Kanaya, papanya, juga mamanya yang kini sakit.

"Seberapa kenal lo sama kakak gue?" tanyanya dengan posisi yang masih sama.

Bukannya menjawab Manggala malah melontarkan pertanyaan lain pada Gista. "Apa bener dia... dia udah nggak ada?"

Tanpa sadar tangan Gista meremat kuat ujung kemejanya. Menahan sesak yang tiba-tiba menghantam dadanya.

"Iya. Kakak gue udah meninggal,"  jawabnya. "Satu tahun yang lalu.

"Kenapa? Dia sakit? Kecelakaan atau—"

"Lo nggak perlu tahu," potong Gista cepat. "Karena itu nggak penting buat lo."

Gadis itu sudah tidak bisa menahan sesak di dadanya. Deru napasnya memburu. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi Gista langsung berlari. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti karena teriakan Manggala.

"Gue perlu tahu karena ini menyangkut perasaan yang belum selesai!"

Perasaan yang belum selesai? Jangan bilang....

"Kanaya. Kakak lo itu. Dia cinta pertama gue."

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Where stories live. Discover now