Jika Revan memang berniat menjenguk mamanya kenapa tidak sedari tadi? Kenapa harus menunggu semuanya lelap.

Padahal, Revan sudah pulang sejak jam sepuluh tadi ketika ia dan Wina membahas rencana yang telah mereka pikirkan matang-matang sebelumnya. Yakni, untuk menjadikannya seorang model.

Setelah ikut berbincang sebentar dengannya tadi Revan langsung masuk ke ruang kerjanya tanpa mengganti pakaian. Katanya mau mengecek berkas untuk meeting besok. Dan ketika ia akan kembali ke kamar ia melihat om-nya itu keluar ruang kerja pribadinya lalu masuk ke kamar.

Kenapa baru sekarang di mejenguk mamanya? Seolah Revan memang sengaja mencari celah untuk bisa menemui mamanya seorang diri. Tapi, kenapa? Apa ada sesuatu yang laki-laki itu sembunyikan darinya?

Berbagai macam pikiran negatif menghampiri Gista saat ini. Namun, Gista tidka mau mengambil kesimpulan dengan gegabah. Gadis itu hanya diam sambil terus memfokuskan pandangannya ke arah Revan.

Sampai beberapa menit laki-laki itu hanya diam sambil terus memandangi wajah Wening yang terlelap. Sama halnya dengan Gista yang hanya bergeming menunggu laki-laki itu berbicara lagi.

"Sekali lagi maafkan aku, Wening... Erlan. Maaf. Aku tidak bisa menjaga putrimu dengan baik," lirih Revan yang masih mampu di dengar oleh Gista.

****
Dok dok dok

"Woy! Buruan napa lama bener lo siap-siapnya! Keburu cosplay jadi batu menangis nih fotografernya!"

Gista mendesis mendengar suara teriakan sepupu laknatnya itu yang sudah seperti tarzan. Sejak bersiap-siap Ganes tak henti-hentinya  berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamarnya.

Hari ini adalah hari pertama Gista mendapat job foto model dari fotografer terkenal yang merupakan teman kuliah Wira. Seharusnya jadwal pengambilan fotonya pagi tadi.  Tetapi, karena fotografer-nya sedang ada urusan. Jadi, jamnya diubah jadi siang hari.

Karena Wira siang ada kelas dan kebetulan hari ini Cantaka pulang pagi. Jadi, Ganes lah yang dimintai tolong oleh Wina untuk mengantarkaan Gista ke sana.

"Gista! Lo itu sebenernya dandan apa ngitungin helaian rambut lo sih?!" teriak Ganes geregetan.

Bagaimana tidak geregetan? Sudah hampir satu jam ia berdiri di depan pintu kamar Gista seperti patung selamat datang. Menanti sepupu kesayangannya itu selesai bersiap-siap. Dan sampai kakinya pegal cewek itu belum juga keluar.
Padahal, tadi katanya tinggal ngeringin rambut sama ganti baju.

Ganes tidak tahu jika sebenarnya Gista tadi berbohong. Ketika Ganes datang cewek itu bukan mengeringkan rambut, tetapi baru mau mandi. Karena keasyikan menonton film Gista sampai lupa jika jarum jam sudah menunjukkan pukul  setengah dua siang.

"Gue itu itung sampe tiga enggak  keluar gue tendang sampe Malaysia nih pintu!" ancam Ganes mengambil ancang-ancang.

Cowok berjaket hitam dengan lambang dua bilah katana yang menyilang dengan pita di bagian bawahnya yang di bagian dalamnya bertuliskan huruf besar "BALAPATI" itu mulai menghitung dalam hati.

Satu.

Dua.

Tiga.

Baru saja ia melayangkan kakinya. Pintu terbuka membuatnya menendang angin hingga terjerembab  di bawah kaki Gista.

"Buahahaha!" Tawa Gista pecah seketika melihat sepupunya itu mencium lantai.

"Asem!" umpat Ganes sambil berdiri.

"Makanya jadi orang tuh yang sabar biar disayang sama Kak Rani. Nggak sabaran sih lo jadinya disayangnya sama malaikat Izrail, kan?"

Ganes melotot. "Heh! Lambemu!"

Lambe : bibir

"Lagian jadi orang nggak sabaran banget," ucap cewek itu membenarkan ikatan rambutnya yang dirasa kurang kuat.

Bola mata Ganes bergerak dari bawah ke atas, memindai penampilan sepupunya itu. "Lo ngehabisin waktu sejam buat dandan, ternyata hasilnya cuman kayak gini?"

Gista melihat dirinya sendiri dari ujung sepatu converse-nya sampai ke baju yang ia kenakan. Ia merasa tidak ada yang salah dengan yang ia pakai.

"Emangnya kenapa sih?"

Ganes menggelengkan kepalanya. Mengomentari penampilan Gista. " Lo itu mau foto bukan mau malak di pasar. Ya kali penampilan lo kayak preman gini."

Perempuan dengan setelan kemeja kotak-kotak dan celana jeans yang robek di bagian lututnya itu memutar bola matanya malas. Perkara penampilannya seperti preman saja dibesar-besarkan. Dasar Ganes lebay!

"Lagian gue nanti di sana juga ganti baju, kan? Terus masalahnya di mana kalau gue pake baju kayak gini?"

"Ya masalah dong, Gis. Masa iya seorang model, tapi penampilannya kayak preman. Lo itu harus jaga image. Udah sana ganti lagi. Gue tunggu!"

Gista kembali merotasikan kedua bola matanya, malas. "Persetan sama yang namanya image! Gue mau jadi diri gue sendiri. Terserah mereka mau nilai gue kayak apa. Itu urusan mereka bukan urusan gue!"

Ganes diam. Jika sudah dalam mode seperti ini gadis itu sudah tidak bisa dikasih saran apapun. Mau memberinya saran sampai mulut berbusa sekalipun hanyalah sia-sia. Gista tetap akan kukuh dengan pendiriannya.

"Yaudah terserah. Gue nggak maksa," putus Ganes akhirnya memilih mengalah.

"Hmm... gitu dong." Gista menepuk lengan cowok bertopi hitam itu pelan.

"Yaudah lo siapin mobil sana! Gue mau pamit ke Mama sama Tante Wina dulu," ujarnya kemudian melenggang pergi menuju kamar mamanya.

Lagi-lagi langkahnya terhenti tak jauh dari kamar mamanya berada. Pikiran dan opini negatif kembali berseliweran di kepala cewek berkuncir kuda itu ketika mendapati Revan tengah berdiri di depan pintu. Pandangan laki-laki itu terfokus pada Wening dan Wina.

Gista memicingkan matanya menyadari pandangan Revan yang tampak sayu seakan penuh rasa bersalah dan penyesalan.

Melangkah mendekat dengan gerakan pelan tanpa menimbulkan suara. Gadis itu berhenti tepat di belakang Revan.

"Om Revan ngapain di sini?"

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Where stories live. Discover now