Prolog

42 16 12
                                    

Nemo berusaha bangkit dari sedihnya, melihat saudara seperguruannya harus mati di hadapannya. Dengan tangan dan wajah yang berlumuran darah, Nemo mengambil pisau yang masih tertancap di jantung Paijo.

Dengan lemas, Nemo mengambil cincin pusaka milik Paijo, pemberian dari gurunya yang bernama Ki Dharman. Ia balik kanan mengambil barongan Jumantoro, kemudian berlari meninggalkan jasad Paijo yang sudah tak bernyawa di tengah hutan.

Hujan rintik-rintik serta suara riuh pepohonan rindang yang tertiup angin seolah ikut bersedih atas kepergian Paijo.

Nemo berlari terengah-engah, hari mulai gelap, akan banyak Yaksha (raksasa jahat lambang ke-angara murkaan) yang berkeliaran mencari mangsa. Sekuat apapun dia, tetap kewalahan menghadapi banyaknya Yaksha.

Sepanjang perjalanan, Nemo teringat kata-kata Paijo sebelum jantungnya tertusuk sebilah pisau.

"Bunuh aku, aku tak pantas di anggap anak oleh Ki Dharman. Aku hanyalah murid penghianat, aku selalu merasa iri dan dengki kepadamu. Bunuhlah aku, sampaikan perkataanku ini kepada Ki Dharman."

Paijo mati, dengan tersenyum lebar menatap Nemo. Memegang sebilah pisau, membantu Nemo menusukkan pisau itu ke jantungnya.

Seketika darah menyembur ke wajah Nemo yang berada tepat dihadapannya, badan dan tangan Nemo yang masih memegang pisau, di bantu oleh Paijo. Darah mengalir dari mulut Paijo yang tampak tersenyum. Semakin lemas dan pucat, kemudian terpejam dan tak bernafas.


"Senyum bukanlah tanda bahagia."

Solah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang