🌙ㅣ11. Dia yang Selalu Berbeda

Mulai dari awal
                                    

"Bang." Alzero menengahi pembicaraan yang pasti akan mengarahkan kedua saudaranya pada perdebatan. "Tadi Vano bilang kalau Varo sama sekali gak mau nolong Bulan waktu di sekolah."

Alderion mengangkat satu alisnya, ada rasa tidak percaya saat mendengar Alzero barusan. Tapi Alzero itu Alzero, tidak pernah mengubah fakta atau menyembunyikan sesuatu. Jadinya Alderion lebih memilih menghela napasnya, lalu menoleh ke arah Rembulan yang sedang memeluk boneka beruangnya.

"Bulan, kamu tau gak kita ngumpul di sini buat apa?"

Rembulan menggeleng. "Nggak."

"Buat nanya kebenaran, apa bener kamu selama ini jadi korban bully di sekolah? Kamu gak bilang siapa-siapa?" tanya Alderion tanpa nada memaksa, ia bertanya lembut agar Rembulan merasa nyaman untuk menceritakan apa yang terjadi dengan tulus.

Rembulan menggigit bibir bawahnya pelan, kepalanya mengangguk membenarkan tanpa menjawab dengan suara.

"Kenapa kamu diem?" tanya Alderion lagi. "Jadi ini alasan kamu gak mau kami antar? Gak mau bareng sama Vano, gak mau bareng Zero, gak mau bareng kakak, gak mau bareng papa. Ini alasannya?"

Rembulan mengangguk lagi, pelukannya pada lengan boneka beruang semakin mengerat saat melihat raut wajah Alderion yang berubah, tak selembut tadi.

"Kenapa kamu gak lawan? Kamu harusnya laporin semuanya ke guru, atau ke mama, kenapa kamu malah diem?"

"Bang—"

Alderion mengangkat satu tangannya ke arah Alvano membuat perkataan Alvano terhenti. Jika sedang serius seperti ini, Alderion tidak suka ada yang menyela, dirinya tidak suka ada yang menjawab pertanyaannya selain orang yang ia tanyai.

"Jawab Bulan, Kakak butuh jawaban kamu."

Rembulan langsung menunduk, tidak berani menatap Alderion yang terlihat menahan amarahanya. Ia meremas-remas tangannya semakin cepat saat merasakan tatapan Alderion tidak terlepas darinya.

"Bulan?"

"B-Bulan miskin, Kak." Akhirnya suara Rembulan terdengar, namun suaranya bergetar diiringi isak tangis yang perlahan muncul. "B-bulan gak punya uang, Bulan gak punya rumah besar, Bulan bukan anak kepala sekolah. Bulan gak bisa apa-apa," ucapnya membuat ketiga lelaki di sana menutup mulut.

Tangan Rembulan terangkat, ia mengusap air matanya yang mengalir. "Bulan gak bisa ngelawan, Bulan takut mama yang jadi sasaran mereka. Mereka itu banyak, mereka punya uang, mereka punya kekuasaan!" sekarang suara Rembulan agak meninggi, isakannya pun terdengar semakin keras. "Bulan udah coba! Bulan udah berani lapor ke semua guru, Bulan udah mau nemuin kepala sekolah tapi hasilnya apa?! Mereka bawa pengacara! Mereka bikin Bulan malu! Mereka balas Bulan pakai cara lebih parah!"

Ketiga lelaki itu terlihat panik saat melihat pundak Rembulan yang bergetar hebat, namun mereka tidak bisa mendekat karena Rembulan langsung menghindar saat Alderion hendak merangkulnya.

"Apalagi kalau mereka tau Bulan jadi bagian keluarga Zanava. G-gimana nasib Bulan nantii?" Rembulan akhirnya menangis kencang, ia menyembunyikan wajahnya pada punggung boneka yang ia peluk untuk meredam suaranya.

Alderion mengembuskan napasnya pelan, ia menarik lengan Rembulan dan mengusapnya. "Maaf, Bulan," ucapnya namun kepala Rembulan langsung menggeleng.

"Kak Rion ngerti gak? K-kak Rion tau apa tentang Bulan?! Bulan—"

"Gak usah keterlaluan lo."

Suara yang berasal dari belakang Rembulan membuat semua yang ada di sana menoleh, kecuali Rembulan yang langsung merasakan nyeri dalam dadanya. Jadi, Rembulan yang mengungkapkan perasaannya itu keterlaluan?

"Harusnya lo tinggal di sini tuh bikin lo sadar, posisi lo di mana!" ucapnya lagi membuat Alvano bangkit dari duduknya.

"Kalau ngomong saring dulu! Lo gak liat dia cewek?!" bentaknya pada Alvaro yang masih menampilkan ekspresi datarnya.

Alvaro mendengkus. "Gak guna dia cewek apa cowok kalau dia gak sadar sama posisinya di rumah ini apa!"

"Varo!" Alzero juga ikut bangkit. "Diem kalau lo gak bisa beresin masalah! Bukannya nambah garem!"

"Kenapa?" Alvaro bertanya ketus, menatap kedua saudaranya. "Emang dia harusnya tau fakta 'kan?"

"Alvaro." Kini giliran Alderion, ia menatap Alvaro lekat. "Kamu capek, harusnya istirahat, kamu gak seharusnya ada di sini, cepet masuk ke kamar."

Alvaro berdecih, ia menatap Rembulan dengan tatapan sinis. "Anak tiri!!"

"ALVARO!!"

Satu tamparan mendarat mulus pada pipi sebelah kanan Alvaro, semua yang ada di sana terkejut saat melihat Anggara sudah berdiri di hadapan Alvaro yang kembali terdiam. Niat Anggara adalah memeriksa semua anaknya, berharap melihat mereka sedang bercengkerama dengan baik, mengobrol, dan bermain bersama. Bukannya seperti ini.

"ANAK MACAM APA KAMU INI, HAH?! BERANI BERKATA SEPERTI ITU?!" Anggara berteriak marah, membuat Alderion langsung berlari dan menahan Papanya.

"Pa, sebentar. Dengerin penjelasan Rion."

"Sikap kamu semakin melunjak saat papa biarkan! Kamu tidak tau kamu berkata apa tadi?!" Anggara tidak menghiraukan Alderion, tatapannya terus fokus pada Alvaro yang masih diam di tempatnya.

"Kamu keterlaluan Varo! Setidaknya jika kamu tidak suka, hargai mereka, jangan seperti ini!"

"Apa Papa juga hargain Varo?" Alvaro membalas. "Apa Papa pernah pikirin Varo?! Enggak 'kan?! Varo juga! Varo juga gak akan!"

"Varo!"

"Apa?!" Alvaro berkata penuh penekanan, tatapannya terpaku pada Rembulan yang juga menatapnya dengan air mata yang berlinang. "Di sini Varo yang anak tiri, cewek itu anak Papa," ucapnya lalu berbalik menuju lift dan masuk ke sana, ia turun ke lantai bawah meninggalkan semua yang terdiam.

"Biar Rion yang susul," ucap Alderion segera, hendak menahan pintu lift.

"Gak ada gunanya. Anterin Bulan ke kamarnya."

"Pa, tapi—" melihat Anggara yang menatapnya tajam, Alderion hanya bisa menurut. Percuma ia membantah, percuma ia melawan.

Alderion berbalik, memberikan kode pada Alzero dan Alvano agar kembali ke kamar mereka masing-masing, sementara ia menghampiri Rembulan yang masih memeluk erat bonekanya.

"Bulan, sekarang waktunya tidur. Sini, dianterin kakak. Yang barusan, jangan dipikirin dulu." Meraih kedua lengan Rembulan, Alderion membawa tubuh gadis itu mendekat padanya, lantas menggendongnya untuk ia bawa ke dalam lift. "Maafin kami ya, Bulan."

Sekarang udah makin sayang sama Alderion belum?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang udah makin sayang sama Alderion belum?

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian yaa! Dan share ceritanya ke orang-orang terdekat, biar bisa baca bareng!!

4 Brother'z | Open POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang