Gesa mendengus. "Namanya kuburan ya sempit, kalo luas itu rumah gue!"

"Sombong gak ketulungan," gumam Deden.

"Bilang apa lo!"

"Anu, lo cakep parah!"

"Oh jelas! Gak kayak lo, muka kayak saringan tahu!" cacinya.

"Anjing! Dahlah males gue, gak gue bantuin kalo lo butuh Ara buat lo deket sama temennya dia!"

Gesa mendelik, apa-apaan ini? Dia yang mengancam, tapi dia juga yang terancam.

"Shit!" umpatnya, "oke-oke, fine! Gue contekin lo, lo bantuin gue! Deal?!" putusnya.

Deden tertawa dalam hatinya, jika cara ini ampuh, mengapa dia harus tersiksa dari tadi?

Dia menjabat tangan Gesa. "Deal! Simbosis mutulisme!"

Gesa merutuki temannya ini. "Simbiosis mutualisme, Goblok!"

"Ya, itu maksud gue."

🔥🔥🔥

Pagi telah datang, tapi kerinduan belum sempat usai.

Airin menuruni tangga dengan seragam yang acak-acakkan. Sesekali ia menguap.

Di meja makan sudah ada Alan-abangnya. Terlihat layar laptop yang menyala dengan beberapa berkas di depannya.

Melihat abangnya ya sesekali memijat pangkal hidungnya membuat dirinya memelas.

Airin berjalan mendekat.

Walau sering kali dia kecewa dengan sikap abangnya, tetapi rasa sayangnya lebih besar.

Decitan kaki kursi yang ia tarik membuat Alan mendongak. "Pagi, Lin!"

Airin diam tak menggubris.

Gengsi menguasai dirinya, ingin sekali ia memeluk dan mengungkapkan betapa besar rasa sayangnya itu.

Airin mengambil roti dan mengolesinya dengan selai stroberi. Menaruhnya ke atas piring dan menggeser roti itu ke depan abangnya.

Alan tersenyum lebar, lama sekali ia tak merasa diperhatikan, terlebih oleh adiknya ini.

Air mata sedikit mengembun di sudut matanya itu. Ia rindu kebersamaan keluarga.

Salah jika orang menganggapnya kuat, padahal dirinya terlalu rapuh untuk mendapat semua ini.

Si sulung yang harus menerima kenyataan bahwa dia kehilangan kedua orang tuanya, si sulung yang harus mampu mengemban tugasnya dalam menjaga kedua adiknya, dan si sulung yang harus mampu mengurus segala kepentingan segalanya, dari perusahaannya, pendidikannya, dan tentunya masih banyak lagi.

"Makasih ya, udah peduli sama abang," ungkapnya.

Airin mengulum bibirnya dan mengangguk. Dia telah menghabiskan rotinya.

Dia melihat sekitar, dia tak menemukan tanda-tanda kehadiran Galih.

"Galih?"

"Udah berangkat."

Airin mengangguk. Akhir-akhir ini abang satunya itu memang terlihat sibuk.

Sudut Rasa (On Going)Where stories live. Discover now