17. Rusuh

67 57 101
                                    

Hari ini ia kembali untuk sekolah, sangat malas sebenarnya, lagi-lagi ia kesiangan, seperti biasa pula gerbang sekolah sudah ditutup.

Dia melangkahkan kakinya ke gerbang belakang sekolah, matanya mengitari sekitar. Berhubung hari ini olahraga, dia sudah memakai seragam olahraganya, bukan seperti itu peraturan sebenarnya, namun yang namanya Airin tak mau susah.

Untung saja hari ini dia tak membawa papan skeat-nya. Dia naik bus sekolah dengan beberapa anak yang ia tak kenali, entah dari satu sekolah, atau pun bukan.

Dia sudah berada di atas, ia kembali mengitari sekitar, tanpa menunggu lama ia mendarat dengan sempurna.

Dengan tas yang hanya berisi satu atau dua buku membuat pundaknya sangat ringan, berbeda dengan siswa lainnya. Terkadang Airin heran sendiri, tas berisi penuh dan tas jinjing yang sangat berat. Apa pundak dan tangan mereka tidak pegal membawa benda seberat itu?

Dengan langkah malasnya ia memasuki kelasnya yang nampak sangat sepi, sudah dipastikan jika teman yang lainnya sudah berada di lapangan, Airin melempar tasnya asal dan berlari kecil menuju lapangan.

Dilihat temannya sedang melakukan pemanasan, ia mengedikkan bahunya acuh kala mendapati sorotan mata tajam dari beberapa temannya.

"Pak! Airin tuh pak! Telat!" seru Risa.

Guru olahraga itu membalikkan badannya. "Kamu kenapa telat?!" ucapnya lumayan tegas.

Airin tersenyum ramah walau dipaksakan. "Saya gak telat kok pak, tadi saya ganti baju olahraga di kamar mandi, tapi ngantri, soalnya kamar mandi lagi di bersihin sama anak yang telat," bohongnya.

Pintar sekali Airin memanipulasi.

Guru itu mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Airin, seolah tak ada yang mencurigakan. "Ya sudah, ikut baris samping temanmu," suruhnya.

"Terima kasih, pak," jawabnya penuh dengan senyum kemenangan.

"Kok gitu, pak?! Biasanya juga dihukum!" kesal Risa tak terima.

Airin yang sedang berjalan di depan Risa memelankan langkahnya. "Bacot lo, Lonte!" desisnya.

"Maksud lo apa?!" amuk Risa keras tak terima.

"Hah, gimana-gimana? Emang gue bilang apaan?" balas Airin seolah tak tahu apa-apa.

"Lo bilang gue lonte, Anjing!" teriaknya keras tanpa sadar.

"Risa! Apa yang kamu katakan?!" hardik guru itu.

Risa yang tersulut emosi menggeram marah. "Anak ini pak, ngatain saya lonte!" adunya.

"Bukan seperti itu pak," sela Airin sebelum guru itu angkat bicara, "tadi saya cuma bilang, kalo Risa dicariin tukang lontong sate yang jualan di depan gerbang sekolah, pak, katanya yang kemarin belum dibayar." Bukan semata-mata Airin berbicara begitu, pasalnya kemarin, sayup-sayup dia mendengar pembicaraan tukang lontong sate dengan beberapa siswa.

"Terus?"

"Nah, si Risa dengernya saya ngatain kalo Risa itu lonte," jelasnya lagi. Di dalam hatinya Airin tertawa keras.

Sudut Rasa (On Going)Where stories live. Discover now