BAGI RAPORT

88 25 47
                                    

Irene masuk ke dalam dapur kantor. Masih dengan wajah memerah dan tangan di mulut untuk menutupi senyumnya. Begitu sampai di dapur, barulah Irene bisa bernapas lega. Masih teringat kejadian beberapa menit yang lalu, Irene lantas menenangkan dirinya sambil duduk di salah satu kursi. Kebetulan tak ada karyawan lainnya di sana. Jadi tidak ada satupun yang melihat kelakuan Irene.

"Astaga tadi gue mimpi apa kagak ya? Beneran tadi Pak Setya ngomong kayak gitu? Gue nggak lagi halu, kan?"

Sekelebat ingatan Irene kembali ke beberapa menit yang lalu, di mana Setya melontarkan kalimat yang amat membuatnya speechless.

Flashback

"Tapi kalau surat itu beneran dari saya, apa jawaban kamu?"

Irene melebarkan matanya. Ucapan Setya barusan sungguh membuat hatinya tak karuan rasa. Jantungnya pun tiba-tiba berdetak dengan cepat. Mungin tensinya sekarang turut naik.

"M-maksud Pak Setya?"

"Ya ... maksud saya kalau saya beneran yang kirim surat cinta dan ngajak kamu nikah, apa jawaban kamu?" ulang Setya menatap Irene yang memunggunginya.

"Y-ya ... saya nggak bisa jawab. Soalnya nggak beneran terjadi. Kalau saya jawab, nanti Pak Setya pikirannya—"

"Beneran. Saya juga punya surat buat kamu, tapi nggak saya tulis di kertas. Ada di ingatan saya," tutur Setya.

Irene memejamkan matanya sambil menggigit gemas bibir bawahnya sendiri. Kalau ada toilet di depan mata, mungkin ia langsung berlari ke dalamnya.

"Ah, Pak Setya kok jadi gini. Kalau nggak ada hal lain, saya keluar dulu, Pak. Permisi."

"Kamu mau dengerin surat saya? Nggak panjang kok, pendek aja. Tapi saya butuk jawaban sekarang," ucap Setya lagi.

"Kalau Pak Setya mau, ya silakan. Saya dengerin," sahut Irene.

"Saya bacakan." Setya berdiri dan berjalan menuju Irene, lalu berdiri di belakangnya.

"Saya orang yang kaku dan nggak romantis. Tapi izinkan saya untuk mengungkapkan keinginan tulus saya sejak lama. Ren, kamu mau menikah dengan saya?"

Irene kembali membuka matanya lebar. Perlahan menoleh pada Setya yang justru menatapnya datar. Tak ada ekspresi di sana. Dengan susah payah Irene menelan salivanya. Ia tercekat bingung harus bicara apa.

"Pak Setya ... nggak bercanda, kan?"

"Kenapa kamu nggak ketawa?"

"A-apa?"

"Kalau saya becanda, pasti ada lucunya. Kenapa kamu nggak ketawa? Berarti saya bercanda atau serius menurut kamu?"

Irene tersenyum canggung, merasa dirinya benar-benar konyol saat ini. Lalu berkedip beberapa kali sambil berbalik badan.

"Kalau Pak Setya serius mau nikah sama saya. Ya besok datang ke rumah saya sama orangtua Pak Setya. Nanti saya share lokasinya. Saya permisi dulu," ucap Irene bergegas keluar ruangan Setya.

Barulah Setya mengais udara banyak-banyak sambil berjalan terbungkuk kembali ke kursinya. Rupanya Setya sedari tadi tahan napas untuk mempertahankan eskpresinya.

"Astaga gue tadi ngomong apaan. Bener-bener menggelikan. Setyo tau pasti bakal ngeledekin gue."

***

"Ayah, cepetan! Tatan nggak mau telat ambil rapot, ya!" teriak Tatan yang berdiri tak jauh dari meja makan. Kesal menunggu Setyo sarapan yang tak kunjung selesai.

SETYO FAMILY [COMPLETED] Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt