Tersadar dari lamunannya Janu langsung menyahuti ucapan Sinta dengan excited khas ibu-ibu bergosip. "Hah? Serius Tante Manggala kayak itu?"

"Iya, Tante serius. Seratus rius malah."

Sinta menarik kursi dua kursi untuk diduduki Magenta dan Janu. Lantas, memersilkan keduanya untuk duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar yang biasanya ia buat bercengkerama dengan Rama kala senja tiba.

Halamna rumah Magenta ini memang 
seperti taman. Halamannya yang berumput ditanami berbagai macam bunga. Ada kolam ikan juga dengan jembatan kecil di atasnya. Ada jalan setapak dengan hiasan bunga di kanan dan kirinya. Lalu, di bagian kanan halaman ada rumah pohon yang langsung terhubung dengan kamar Manggala yang berada di lantai dua.

Iya, rumah pohon itu berada tepat di luar kamar Manggala. Yang tingginya sama dengan balkon kamar cowok itu. Sehingga, mempermudahnya jika ingin ke rumah pohon tanpa harus keluar rumah atau memanjat pohon mangga tersebut.

Bahkan, terkadang jika sedang trburu-buru Manggala nekat keluar masuk melalui balkon kamarnya lalu melompat ke rumah pohon dan turun ke bawah sehingga bisa mempersingkat waktu.

Janu segera memasang ekspresi ala ibu-ibu yang tengah menggali informasi. "Kok bisa galau? Emang ngegalauin apaan sih, Tan?"

"Manggala punya pacar ya? Kok kita sebagai teman seperjuangan dan seperadabannya enggak tahu sih?" lanjutnya.

"Oh, itu... emmm... " Sinta pura-pura berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu. Seolah tengah memikirkan jawaban.

Padahal, sebenarnya apa yang ia katakan itu sedikit berbohong. Tidak setiap malam Manggala galau. Hanya sesekali saja ia melihat putranya itu galau. Manggala memang sering ke rumah pohon saat malam hari, tetapi bukan untuk galau. Namun, untuk ngopi sambil baca buku puisi.

"Tante enggak tahu sih Manggala punya pacar apa enggak. Kan, Manggala di sekolah katanya terkenal sebagai badboy puitis yang suka baperin cewek, tapi enggak pernah diseriusin," ucap Sinta.

Sinta berbicara seperti itu pasalnya menurut berita yang beredar di kalangan ibu-ibu saat pengambilan raport kenaikan kelas kemarin. Manggala dikenal anak-anak mereka sebagai cowok yang suka baperin anak orang pake puisinya. Tapi, tidak ada satu pun yang dipacarinya.

Mengingat hal itu membuat Sinta malu. Manggala itu tidak berbeda jauh dengan ayahnya yang dulu juga suka menggombal. Dan beruntungnya dia adalah satu-satunya perempuan yang diseriusi oleh Rama Ardian Kavindra saat semasa kuliah dulu.

Janu mendesah kecewa. Padahal, ia tadi sudah excited untuk bergosip mengenai Manggala agar bisa ia jadikan hot news dan trending topik di Cantaka.

"Udah. Mendingan Mamaku yang cantik jelita kayak bidadari surganya Papa Rama tercinta. Masuk ke rumah aja! Ini udarannya dingin banget. Nanti Mama kedinginan lagi," ujar Manggala yang telah berada di samping sang mama.

Memegang kedua pundak Sinta dari samping Manggala lantas berkata, "Manggala enggak mau kalau angin dingin itu dengan lancangnya meluk Mama. Aku nggak rela, Ma. Cukup Manggala, kakak sama papa aja yang boleh meluk Mama. Jadi, Mama masuk ke kamar aja ya!"

Bibir Sinta terbuka hendak montarkan kata-kata penolakan. Karena ia masih ingin berada di sini dengan para berondong yang tampan itu. Yang satunya dingin-dingin manis bikin dibates. Yang satunya mukanya ghibah-able banget bikin pengen ngegosip terus. Akan tetapi, satu jari telunjuk Manggala menyentuh bibir Sinta sebagai isyarat untuk tidak berbicara.

"Sssstt.... Mama dengerin Manggala. Manggala itu cuman enggak mau Mama sakit. Karena kesakitan Mama itu juga kesakitan Manggala."

Janu dan Magenta menatap cengo adegan romantis ala-ala film romance yang seolah diperagakan oleh anak dengan ibunya ini.

"Sakitnya seorang Manggala itu bukan ketika cintanya enggak berbalas atau berhianat. Tapi, ketika ngelihat orang yang Manggala sayang enggak baik-baik aja. Itu sakit banget, Ma. Seolah-olah dunia aku itu berhenti gitu aja. Jadi, Mama masuk kamar aja ya?" bujuk Manggala yang diangguki oleh Sinta.

"Yaudah, Mama masuk kamar dulu ya, gantengnya Mama," putus Sinta pada akhirnya.

"Oh oya, kalian kalau mau nambah kopinya langsung aja ke dapur bikin sendiri. Anggap aja ini rumah kalian sendiri. Tante pamit ke dalem dulu."

Baru saja satu langkah Sinta meninggalakan ketiga kaula muda itu. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara laki-laki tertampan setelah Rama di dalam hidupnya itu memanggilnya.

"Ma."

Perempuan parubaya dengan rambut hitam legamnya itu menoleh dengan gerakan slow motion. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin seolah ada efek blower seperti di film-film.

"Good nigt, dear! Jangan lupa mimpiin Manggala!" tutur Manggala halus.

Perempuan dengan daster hitam polos itu mengangguk sambil tersipu malu. Sebenarnya, ia sudah terbiasa dengan kata-kata manis yang diucapkan oleh putranya. Ia hanya sedang mendalami peran sebagai perempuan yang terbawa perasaan di hadapan teman-teman putranya itu.

Mampus! Biar mereka baper sekalian!

Setelah Sinta pergi Janu menggelengkan kepalanya. "Gila lo, Bro! Nyokap sendiri lo baperin. Mau jadi Sangkuriang lo?"

"Kayaknya obatnya habis," celetuk Magenta yang sedari tadi hanya diam saja.

Manggala hanya terkekeh pelan. "Benih-benih cinta dari Papa Rama sama Mama Sinta emang kayak gini. Jadi, jangan heran!"

"Lo berdua mau juga gue baperin?" tanya Manggala mengedipkan matanya genit.

"Ogah!"

-----GISTARA----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Место, где живут истории. Откройте их для себя