6. Psikopat Ganjen

Mulai dari awal
                                    

"Ampun katamu?" Steve terkekeh rendah, di wajahnya tidak ada raut kesakitan sama sekali. Padahal pagi tadi, Steve berdesis berkali-kali saat Rosy membersihkan lukanya.

"Maafkan aku boss..." Pria yang meringkuk itu terlihat hampir mati, nadanya tercemar tangis dan sakit. Ingin Rosy berlari untuk membantunya. Sebagai dokter dia tidak mungkin diam saja melihat orang sekarat dengan sekujur luka itu. Tapi melihat pada Steve yang kejam begitu membuat Rosy sedikit gentar. Kakinya terpaku dari balik lemari tinggi yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga.

"Pecundang ini menolak tantangan duel satu lawan satu dariku semalam, Cckk, sekarang aku tanya, bagaimana rasanya dikeroyok, hn?"

"Aku tidak tahu itu anda bos..." Rintih orang yang tak berdaya itu.

"Tidak tahu?" Lagi Steve terkekeh rendah dengan cara yang menakutkan. Hingga seorang wanita berambut kumal dengan wajah busuk muncul di belakang Steve, memandang lurus penuh dendam para orang yang meringkuk memohon ampun dilantai itu. Membuatku bergidik, lalu segera memalingkan muka.

Seseorang di belakang ku menarik lenganku.

"Apakah anda pemilik rumah ini?" Bisiknya takut-takut, yang segera Rosy jawab dengan anggukan.

"Tolong menjauh saja, bos sedang marah, nanti anda celaka." Pria muda itu terlihat mengkhawatirkan Rosy.

Memangnya dia siapa menyuruhku pergi, itu yang pertama kali Rosy gumamkan dalam hati.

"Ampuni aku bos, istriku akan melahirkan sebentar lagi." Rintihan suara yang melantunkan kesakitan itu membuat Rosy menoleh. Matanya juga melirik wanita yang ternyata kini berdiri tepat di sebelah pria yang meringkuk di lantai. Rosy menggeleng, tak ingin tahu apa hubungan arwah penasaran dengan orang itu.

"Sama, maminya anak-anakku juga marah padaku karena luka-luka yang kau sebabkan ini.

Cih, dasar pria gila. Jangan bilang maminya anak-anak yang dia maksud itu aku.

"Ampun bos, tolong sampaikan maaf saya pada istri bos. Tolong lepaskan saya bos..."

"Sekarang siapa yang lemah, kamu hanya melawan Timy seorang. Lihat lah, kematian sudah mengintaimu." dengus Steve dengan wajah gelap.
"Tapi karena kamu sudah membuatku senang dengan menyebut istriku, maka ku ampuni kamu." Lanjut pria itu menarik sudut-sudut bibirnya, senyum berlebihan mengembang. Dia terlihat seperti remaja labil yang tengah jatuh cinta. Rosy bergidik sendiri, karena di matanya kini Steve terlihat seperti pria psikopat.

Istri? apakah aku tidak ge-er namanya kalau aku menganggap yang dia maksud itu aku lagi? Geram Rosy hanya dalam pikiran saja. Meskipun begitu, Rosy masih menampilkan ekspresi takut pada bos gangster di depan sana. Memangnya siapa yang tidak takut sih, apabila menyaksikan pemandangan di ruang keluarga yang kini serupa ruang eksekusi.

Bukannya senang, pria yang meringkuk menahan sakit itu justru menangis. "Terimakasih bos, saya akan mengingat kebaikan bos ini. Kalau saya sembuh saya akan mengabdi padamu bos, saya bersedia mengkhianati Syarif Bos, saya janji. Terimakasih, terimakasih." Katanya tersengal-sengal hampir pingsan.

"Baiklah, pergi sana." Usir Steve dengan melambai riang. Dia lempar pistolnya begitu saja, yang ditangkap anak buahnya dengan tangkas.

"Singkirkan dia, aku tidak mau maminya anak-anak marah melihat rumah kami berantakan begini." Perintah Steve pada anak buahnya.

Dasar genit, memangnya siapa dia mengakui rumahku sebagai rumahnya, batin Rosy mencibir.

"Baik, bos! Akan kami bereskan." Ujar pria yang menangkap pistol tadi, setelahnya dia menggerutu sembari menarik pria yang terluka parah itu.
"Kenapa sih, dia tidak menghubungiku seperti biasa sedari awal sadar." Kata pria yang Rosy taksir usianya hampir sama dengan Steve itu, lebih pada diri sendiri.

Boss Gangster dan Bu Dokter IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang