Anara menggerakkan tangannya halus di atas punggung Gista. Mengusapnya pelan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Gue nggak tahu apa yang barusan terjadi sama lo. Tapi, gue akan tetap ada di sini buat lo, Gis."

***

Siang ini, sepulang sekolah lapangan SMA CANTAKA telah dipenuhi oleh anak-anak kelas sepuluh yang mengikuti ekskul PMR.

Hari ini adalah hari pertama ekskul PMR masuk di tahun ajaran baru. Mereka telah berbaris rapi. Begitu juga beberapa senior mereka yang telah mengganti seragamnya sekolahnya dengan seragam PMR lengkap dengan atriburnya, topi, dan scraf. Hanya ada beberapa senior yang tengah mengawasi mereka di lapangan. Karena sebagian senior PMR masih ada yang bersiap-siap dan mengganti pakaian mereka.

"Lo tenang aja, Gis. Gue udah bilang kok ke Manggala kalau lo lagi nggak enak badan. Jadi, lo hari ini diizinin nggak ikut turun lapangan, " kata Anara sambil merapikan scraf berwarna kuning yang telah terpasang di lehernya.

Gista memerhatikan Anara yang tengah memakai topi. Kini di dalam kelas hanya tersisa mereka berdua. Anak yang lain sudah pulang. Sementara, beberapa temannya yang juga merupakan senior PMR masih berganti pakaian di ruang ganti.

"Ra," panggil Gista pelan.

Anara menoleh. "Iya, kenapa, Gis?"

"Lo tadi berangkat naik apa?" tanya cewek dengan rambut kuncir kuda yang menyadarkan punggungnya di tembok. Sejak pagi gadis itu sama sekali tidak membenarkan rambutnya.

Mood Gista sejak kejadian pagi tadi memang sangat buruk. Seharian tadi dia tidak mau berbicara. Hanya sesekali menjawab ocehan panjang nanti lebar kali tinggi sama dengan luas dari Anara. Si cewek bermata belok dengan anugerah Tuhan berupa suaranya yang bisa memadai kecepatan kilat itu berusaha membuat Gista ceria. Namun, Gista masih saja pada mode badmood-nya.

Anara tidak mau bertanya lebih jauh apa yang telah menimpa Gista. Karena Anara yakin jika mood Gista sudah membaik. Dia pasti akan bercerita sendiri padanya. Dia kenal Gista bukan hanya setahun dua tahun. Tetapi, semenjak keduanya masih mengenkan pampers.

Saat masuk SD keduanya selalu bersama dan duduk sebangku setiap kenaikan kelasnya. Sampai-sampai ketika Gista dan Anara diminta berpisah tempat duduk dengan alasan agar dapat bersosialisasi dengan yang lain saat SMP dulu. Gista menolak. Dia bahkan mogok sekolah hanya karena tidak duduk sebangku lagi dengan Anara. Alhasil, keduanya disatukan lagi di bangku yang sama. Sebesar itulah rasa sayang Gista pada Anara.

"Naik angkot, Beib. Motor gue masuk bengkel," jawab Anara cemberut.

Anara memang terkadang suka memanggil teman-temannya dengan sebutan "beib".

Seakan ingat sesuatu. Mulut cewek berkepang satu itu langsung terbuka dan mengalirlah sebuah cerita.

"Ih gue sebel deh keinget tadi. Abang angkotnya nyebelin banget tau, Gis. Masa iya dia genit banget sama gue. Malah parahnya dia berani elus-elus tangan gueeeee, Gis! Ihhh najong banget deh!" ucapnya geli.

"Gue nggak mau ah naik angkot lagi. Parno gue."

Anara bergidik membayangkan supir angkot dengan brewok tebal yang tadi mengedipkan sebelah matanya genit padanya. Lalu, mengelus-elus tangannya saat memberikan uang tadi.

"Untung gue bawa handsanitizer. Langsung deh gue semprot tangan gue yang udah ternodai sama om-om genit kayak supir angkot tadi."

"Supir angkot yang mana yang godain lo?" tanya Gista menegakkan tubuhnya.

Dia bukan hanya benci cowok yang menggodanya. Dia juga benci ada cowok yang menggoda teman-temannya.

Anara menelan ludahnya melihat ekspresi wajah Gista yang berubah serius, datar, dan penuh intimidasi.

GISTARA (END) Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ