bunga angin

102 18 2
                                    



Jooyeon berusia delapan tahun, dan musim gugur hampir berakhir.

Changkyun ingat dengan baik hari itu. Dia tengah bekerja di perkebunan. Permintaan khusus untuk panen terakhir sebelum musim dingin datang dan melapisi tanah dengan es. Kesepuluh jarinya penuh dengan tanah, dan keranjang di sampingnya belum penuh.

Jika dia pulang nanti, dia sudah menyusun rencana untuk membuat sup kentang. Kihyun yang akhir-akhir ini kurang enak badan kehilangan selera makan. Sup pasti membuatnya lebih baik.

Seseorang menepuk pundak Changkyun dan menunjuk. Di arah itu dia melihat Jooyeon. Mata hijau cantik  yang dia warisi dari Delilah memandang Changkyun dengan ragu-ragu.

"Kejutan apa ini?" tanya Changkyun. Seketika tangannya yang terangkat untuk menyentuh kepala Jooyeon terhenti, tangannya begitu kotor. Sebagai gantinya, Changkyun tersenyum lebih lebar.

"Pa, ayo kita pulang," ajaknya.

Hari itu, Changkyun kira dia salah lihat. Dia melihat mata Jooyeon tidak lagi memancarkan kilau jenaka, tapi sesuatu yang lain. Putranya seakan melintasi waktu untuk meminjam wajah dewasanya dan menampilkannya untuk Changkyun hari ini.

Gelombang rasa dingin membuat dunia Changkyun abu-abu. Ketika dingin itu hilang, tubuhnya mulai terasa terbakar. Setiap ototnya kaku oleh pemikiran-pemikiran yang berkecambuk dalam kepala Changkyun.

Satu-satunya yang dia ingat adalah meraih tangan Jooyeon dan menariknya pulang. Tidak dia pedulikan keranjang yang terbengkalai, tatapan ingin tahu dari orang-orang di sana dan sapaan dari seseorang. Baru ketika dia melihat pengurus perkebunan, dia bicara meminta izin.

Ucapan Changkyun terputur, tapi nampaknya pengurus itu mengerti.

Changkyun membantu Jooyeon naik ke sepedanya, dan mengayuhnya secepat mungkin untuk sampai di rumah. Dia tidak boleh buru-buru dan ceroboh, dia akan melukai Jooyeon juga dirinya sendiri.

Rumah terlihat begitu dingin. Seakan musim dingin telah dimulai, seolah rumput telah berganti menjadi ladang salju beku.

Jooyeon menolak untuk masuk. "Aku menunggu di sini saja," ujarnya.

Begitu Changkyun masuk, dia melihat Kihyun di ruang tengah. Duduk di atas sofa coklat miliknya, menghadap perapian yang menyala-nyala.

Dari susunan kayu bakar di perapian, Changkyun bisa menebak jika itu adalah pekerjaan Jooyeon.

"Kemarilah, Changkyun!"

"Eomma, aku...," Changkyun tersedak oleh udara dalam tenggorokannya.

"Tidak apa," jawab Kihyun. Omega itu meraih tangan Changkyun, menggenggamnya dengan lembut. "Aku sudah siap sejak suamiku pergi."

Kata-katanya menghancurkan penahan terakhir air mata Changkyun. Dia jatuh dengan kedua lututnya, menundukkan kepala berharap Kihyun tidak melihat air mata menganak sungai di pipinya.

Kihyun tertawa lembut, tawa yang sama ketika dia melihat Jooyeon dan Changkyun berdebat kecil. Lalu kali ini, Changkyun menangkap jika tawa itu lebih lepas, lebih hidup dan berselimut kelegaan.

Dalam hati Changkyun berpikir, sudah berapa lama Kihyun bertahan?

"Jagalah anakmu dengan baik! Aku tidak punya apapun yang bisa kuwariskan padamu atau Jooyeon. Semua yang kumiliki adalah cinta dan tenaga."

Isak Changkyun menjadi jawaban. Meski dia ingin sekali mengucapkan terima kasih sudah menjadi satu-satunya orang yang mencintai Changkyun tanpa pamrih ketika kehilangan memporandakan hatinya.

(Miracle) Incredible [End]Where stories live. Discover now