peri hutan

94 25 20
                                    


"Nae-sarang!"

...

Changkyun tiba-tiba terdiam, seolah tangan tak kasat mata mencengkram kedua kakinya. Dia mencoba menjernihkan pendengarannya untuk mendengar suara sayap jangkrik di kejauhan, suara gesekan dedauan, debaran jantungnya, isak tangis Jooyeon, kemudian sekali lagi, "Nae-sarang!"

Panggilan itu membuat dada Changkyun berdesir aneh. Seperti sebuah kelegaan dari bernapas setelah tenggelam. Seperti orang sekarat yang tiba-tiba sembuh. Tanpa sadar Changkyun mengulum senyum, tanpa sadar berpikir dengan lebih jernih beberapa detik sehingga dia sadar Jooyeon tidak pantas ada di sini bersamanya. Apa haknya untuk mengakhiri hidup bayinya?

Changkyun menoleh untuk menatap sosok asing di pinggir danau. Mereka saling menatap begitu lama. Mencoba menangkap benang tak kasat mata di udara yang mulai terbentuk sebagai takdir.

"Sayang. Kemari!"

Changkyun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyusun mozaik yang dia lihat, menyusunnya menjadi wajah yang bisa dia kenali. Seorang pria dengan wajahnya yang terlihat ayu. Pria asing itu bersimpuh di pinggir danau. Dia menjulurkan tangannya pada Changkyun.

Mata Changkyun dipenuhi oleh pemandangan yang mengingatkannya pada gambar di buku dongeng. Seseorang dengan pakaian sederhana, berwajah rupawan, dan keindahan alam yang membingkainya. Selama Changkyun hidup, dia hanya pernah menatap kagum pada ibunya yang terlihat cocok dengan gambaran peri-peri hutan di buku dongeng, dan ini pertama kalinya bagi Changkyun melihat seseorang yang menyaingi keindahan Delilah.

"Keluarlah dari air. Eomma tidak bisa berenang, jadi kamulah yang harus kemari."

Kaki Changkyun perlahan rileks, dalam beberapa detik dia memutuskan untuk berbalik, memandang wajah itu lebih jelas. Dia menghirup udara yang berbau lembut dan menenangkan. Mendengar suara lembut yang seakan langsung masuk ke dalam kepalanya. Dulu sekali dia pernah merasakan momen ini, ketika dia masih bocah lugu yang percaya pada dongeng-dongeng, ketika dia tidak meragukan kepergiaan ayahnya dan ibunya masih bisa menggendong dan mengayunkannya.

Jooyeon kembali meronta-ronta di pelukan Changkyun dan itu menjadi gerakan yang mampu menarik Changkyun ke alam sadar.

"Bayimu kedinginan, sayang. Bawalah dia kemari. Eomma akan membantumu. Ayo!" Changkyun tidak mengerti bagaima senyum itu membuat kakinya bergerak tanpa diminta. Mungkin kata eomma yang membuat dada Changkyun berdesir menyenangkan.

Jooyeon berpindah dari dadanya. Pria beraroma lembut khas omega itu menimang-nimang bayinya dengan sayang hingga akhirnya Jooyeon mulai tenang dan mau duduk di atas rumput.

Changkyun sudah duduk lebih dulu. Dia merasa malu. Memikirkan apa yang berusaha dia lakukan membuatnya semakin mengerut. Ingin sekali Changkyun menjatuhkan dirinya ke dalam air dan tidak muncul ke permukaan. Bagaimana mungkin dia memiliki wajah untuk memandang Jooyeon sekarang?

"Mendekatlah. Kamu tidak ingin mendapatkan sebuah pelukan?"

Pelukan yang dia rasakan terasa hangat. Changkyun bahkan tidak meminta, tapi telah mendapatkan pelukan yang tanpa sadar -dia akui- sebagai sesuatu yang dia butuhkan. Sebuah empati yang tidak mengharapkan imbalan. Rasa hangat dari belaian itu membuat Changkyun menangis kencang seakan dia diberi izin untuk melampiaskan semua rasa sakitnya.

"Menangislah. Tidak apa. Eomma di sini untumu."

Andaikan Delilah seperti ini ketika dia berkunjung sore tadi, Changkyun tidak akan berpikir pendek untuk mengakhiri hidupnya.

Tapi dengan orang asing ini, Changkyun juga tidak berani terlalu berharap. Dalam kepalanya, dia telah menghitung mundur. Pria omega di depannya akan mulai berkisah tentang dosa yang akan dia tanggung karena mengakhiri hidup bayinya, lalu penghakiman lain yang menyudutkan Changkyun. Setelah lama dia menunggu, tidak terdengar suara sedikitpun. Dia hanya merasakan pelukan yang semakin nyaman, elusan penuh kasih sayang, dan sebuah kecupan di pelipisnya.

(Miracle) Incredible [End]Where stories live. Discover now