puisi lama

108 23 23
                                    



Kihyun berusia 15 tahun ketika dia dijodohkan dengan seorang alpha. Ketika itu, usia 15 tahun sudah termasuk terlambat untuk mendapatkan jodoh. Pria yang menjadi jodohnya adalah sosok pria berwajah dingin. Dari segala sisi wajahnya, tumbuh kesan jika dia bukan jenis pria yang mudah diajak bekerja sama.

Setiap kali mereka duduk berdua, mereka selalu tenggelap dalam rasa canggung yang tidak memiliki akhir. Dua manusia ini menjalani hari yang berseberangan sepanjang waktu. Seolah apa yang mengikat mereka bukan apa-apa selain sebutan nama.

Lebih sederhananya, mereka berada di satu rumah hanya karena mereka menikah.

Suaminya itu berusia dua kali lipat umur Kihyun, sehingga sedikit masuk akal jika keduanya tidak bisa bergabung dalam beberapa hal sederhana.

Pada suatu masa, ketika pernikahan mereka masih seusia jagung, Kihyun mengantar suaminya ke depan pintu. Memasuki kereta kuda yang akan membawanya ke ibu kota. Ketika itu perang masih meletus seperti sebuah kemeriahan tahunan. Tidak ada tahun tanpa perang dan kedamaian hanya isapan jempol.

Kihyun melihat punggung tegap suaminya menghilang dan kalimat selamat tinggalnya masih membayang dalam pikiran Kihyun.

"Kelak, jika aku kembali. Kita akan menyusuri pantai. Melihat matahari terbenam dan bersujud di kuil untuk memohon keberuntungan."

Selama tiga bulan lamanya dia tertidur oleh mimpi-mimpi indah. Dia membayangkan dirinya berjalan bersama suaminya, bersisihan dan bergandengan tangan. Mereka akan duduk di atas pasir pantai yang halus, menunggu matahari terbenam, dan pikiran lancangnya mengalir pada keinginan untuk bercinta di bawah cahaya bulan.

Tapi kata kelak jika aku kembali membuat Kihyun takut. Ketika suaminya mengatakan itu, dia sendiri tidak memiliki keyakinan untuk kembali dan Kihyun tidak berani berharap terlalu tinggi. Perang merebut segalanya yang bisa manusia pikirkan. Perang bahkan lebih mengerikan dari neraka. Jika neraka hanya menerima orang jahat, maka perang tidak pandang bulu.

"Dia pulang, Changkyun," kata Kihyun dengan senyum lebar yang cantik.

Suaminya pulang ketika matahari baru saja tenggelam. Mereka berpandangan selama beberapa menit di depan pintu. Menyapa rasa baru yang tumbuh lebih cepat dari yang bisa Kihyun kira. Dia merindukan suaminya. Suaranya yang tenang dan canggung, senyumnya yang kaku, Kihyun tidak mengira jika semua itu membuatnya rindu.

Cinta tidak datang secara tiba-tiba. Cinta datang seperti salju musim dingin. Pertama mencuri perhatian dengan udara dingin, lalu gelapnya hari, dan kepingan indah yang tidak mengijinkan seorangpun untuk berpaling. Dan malam itu keduanya paham jika jarak yang terbentang selama ini membuat mereka menyadari jika cinta telah tumbuh perlahan. Ucapan rindu dan cinta. Bisikan nama yang mengalun bersama desah napas membara.

Setelah hari itu, tidak ada lagi rasa canggung. Kihyun selalu dipeluk erat ketika beranjak tidur, mendapatkan ciuman selamat pagi, ditemani kemanapun dia pergi, dan mereka mendapatkan hadiah istimewa di musim gugur.

Kihyun mengandung.

Kebahagiaan seakan tergenggang di telapak tangan. Mereka selalu pergi ke kuil di akhir pekan untuk memohon perlindungan. Berharap dalam setiap bait doa, agar kebahagiaan ini tidak lenyap secepat es yang mencair.

Kihyun memiliki tiga keping uang perak berlapis emas murni dan batu giok biru. Hadiah dari suaminya setelah menjelajah puluhan kota dalam perang. Uang perak itu tersimpan dalam kotak berukir dari kayu cendana, dan hari itu dia merelakan semuanya untuk diletakkan di kuil. Hanya giok biru mungil yang Kihyun sisakan untuk dirinya sendiri. Mereka menyalakan dupa dan memukul lonceng, kemudian menyanyikan beberapa bait lagu sebelum pergi.

(Miracle) Incredible [End]Where stories live. Discover now