waktu yang hilang

102 26 3
                                    


Sudah sejak lama Changkyun telah kehilangan hitungan. Dia tidak lagi menghitung berapa hari telah berlalu, atau sudah berapa kali musim panas mengintip dari daun jendelanya. Dia menyambut setiap pagi yang datang, kemudian mengucapkan selamat tinggal secepat yang dia mampu. Tapi Minhyuk datang beberapa hari yang lalu. Sejak dia melihat Jooyeon yang tumbuh semakin besar, dia memekik penuh bahagia.

"Wah, lihat bayi ini. Rasanya baru kemarin aku memeluknya yang masih bayi merah." Dia tersenyum lebar ke arah Hyungwon dan pemuda tinggi itu membalas. "Sudah tujuh tahun kurasa. Cepat ya waktu berlalu."

Dan saat itu pula semua syaraf di otak Changkyun yang sebagian dia paksa untuk mati bekerja kembali. Dia menghitung dengan cepat dan segera membenarkan. Sudah tujuh tahun usia bayinya. Tujuh tahun yang panjang untuk melihat buah hatinya tumbuh semakin dewasa dan jelas menyalin apa yang Jooheon miliki.

Apa yang kira-kira Jooheon pikirkan jika dia melihat Jooyeon sekarang? Apa dia akan memuji Changkyun atau dia akan menyalahkannya untuk setiap bekas luka yang Jooyeon miliki. Ketika bayi itu kira-kira lima tahun, Changkyun ingat dirinya yang berlari panik mencari Kihyun karena Jooyeon tiba-tiba hilang dari pengawasannya.

Changkyun yang tengah sibuk dengan adonan roti serta potongan daging dendeng di meja dapur dalam beberapa waktu itu dia tidak menoleh untuk melihat Jooyeon. Seingatnya, putranya itu masih menyusun potongan puzzel kayu di ruang tengah. Beberapa kali Changkyun mendengarnya bergumam khas anak-anak sampai suara itu hilang sama sekali.

Ketika dia ingin mencuci beras, Changkyun sadar jika bak air di dapur tengah kosong. Panci sup di atas tunggu telah mendidih, Changkyun harus mengangkatnya jika tidak mau sayurnya terlalu lembek.

"Jooyeon! Bisa tolong ambilkan air untuk papa?"

Dia berpindah ke sisi lain dapur untuk meletakkan panci. Lalu sadar Jooyeon sama sekali tidak menjawab. "Jooyeon?!"

Changkyun mendapati ruang tengah kosong, begitu pula ruang depan, teras dan halaman. Rasa panik membuat Changkyun hampir tersandung. Ini bukan kali pertama Jooyeon menghilang dari pengawasannya, terakhir kali ini terjadi, Jooyeon mendapatkan dua jahitan di lututnya karena jatuh ke parit. Kemudian dia ingat jika Kihyun tengah mencangkul di belakang kandang, mungkin Jooyeon ada di sana.

Kihyun terlihat mengayunkan cangkulnya untuk menggempurkan tanah. Beberapa hari lalu mereka memutuskan untuk menanam jagung di belakang kandang. Sebenarnya itu rencana Changkyun, tapi dia tidak juga mulai bekerja hingga Kihyun yang mengambil alih.

"Eomma!" napas Changkyun tersengal. Matanya tidak menemukan Jooyeon.

Cangkul yang Kihyun pegang sempat terhenti begitu saja di udara kemudian menghujam tanah. Kihyun melepas tudung yang melindungi wajahnya dari sinar matahari dan memandang Changkyun dengan kerutan bingung.

"Kenapa?" tanyanya.

"Apa Jooyeon kemari?"

"Ya. Tadinya," jawab Kihyun sambil mendekat. "Kenapa?" dia nampaknya mulai merasa sesuatu yang tidak benar terjadi.

"Aku tidak melihatnya di rumah, dan dia juga tidak ada di sini." Changkyun meremas lututnya yang terasa ngilu. Barangkali dia sempat membentur sesuatu tanpa sadar.

Kihyun mencengkram bahunya dengan erat. "Sejak kapan kau sadar dia tidak ada."

"Baru saja," cicit Changkyun ketakutan. Dia segera menghitung. "Mungkin dia telah menghilang sejak beberapa jam yang lalu."

"Cari dia ke hutan, dia mengaku ingin menangkap kumbang. Aku akan mencarinya ke atas." Atas yang dimaksud Kihyun adalah jalan utama desa, ke perkebunan atau dermaga. Jooyeon memang memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Changkyun tidak akan heran. Seorang alpha memang seperti itu, tapi sebagai seorang ibu Changkyun merasa dia seharusnya bisa melakukan hal yang lebih dari hanya mengawasi.

(Miracle) Incredible [End]Where stories live. Discover now