bunga layu

111 23 6
                                    


"Kita akan bertemu ayah."

Dia merapalkan kalimat itu agar Jooyeon tidak banyak bertanya. Dia membawa putranya menyusuri jalanan berbatu pipih yang terputus di tengah hutan. Dia terus melangkah menembus kabut. Dia mendengar kicauan burung di dahan tinggi. Suara jangkrik yang mulai nyaring, dan suara binatang entah apa di dalam hutan.

Jooyeon mulai menangis ketika mereka sampai di danau berair jernih. Putranya pasti merasakan kegundahan yang dirasakan Changkyun. Kegilaan yang dia pancarkan dari caranya mengambil napas dan langkah yang tidak pasti.

Changkyun mati rasa. Selain rasa sakit di ulu hatinya, rasa sakit yang membuat tulang-tulangnya lemas dan menjatuhkan jantungnya ke dasar perut, Changkyun tidak bisa merasakan apapun lagi.

Beberapa waktu itu, dia tidak sadar jika cengkramannya terlalu erat di pinggang Jooyeon membuat bayi itu meronta dan menangis kencang.

Apa yang Changkyun miliki sekarang ini selain rasa sakit? Tidak ada apapun lagi yang tersisa. Bersama hilangnya Jooheon, harapannya pupus seperti abu pembakaran di udara terbuka. Hancur dan terburai tanpa arti.

Dia memiliki Jooyeon, tapi apa artinya itu saat Changkyun telah melempar hatinya untuk terbakar menjadi abu bersama Jooheon.

Changkyun memandangi permukaan danau yang tenang. Tidak ada yang mengusiknya selain daun kering yang perlahan jatuh tersapu angin. Bahkan daun jatuh dengan perlahan, memberi peringatan yang jelas pada permukaan danau yang tenang. Lalu kenapa semua yang terjadi padanya terjadi dengan tiba-tiba? Terlalu cepat hingga Changkyun tidak sempat menarik napas untuk memastikan jantungnya masih berdetak.

Mengapa satu persatu racun yang ditanam Delilah dalam benaknya menjadi kenyataan. Kehilangan bayinya, lalu Jooheon yang sekarang pergi. Apa jalan keluar dari mimpi mengerikan ini adalah kembali ke bawah kaki Delilah. Menurutinya dengan patuh hingga akhirnya dia mati atas persetujuan sang ibu?

Mengapa di saat-saat seperti ini tidak satupun kenangan manis bersama Delilh membantunya?

Udara yang semakin dingin akhirnya bisa mengusik Changkyun sejenak. Matanya yang berkabut perlahan menjadi jernih. Otaknya juga mulai memproses rasa sakit yang disebabkan Jooyeon di lengannya.

Usapan tangan Changkyun di punggung Jooyeon tidak membantu bayi itu untuk tenang.

"Kita akan bertemu ayah. Tidakkah kamu mengerti apa yang ibu katakan?"

Bertemu. Bertemu. Bertemu Jooheon. Iya, bertemu dengan Jooheon lagi. Kalimat itu adalah mantra yang Changkyun bisikkan dalam kepalanya. Berulang kali dengan keputusasaan.

Dia melirik ke pinggir danau. Waktu yang lalu, ketika dia datang bersama Jooheon kemari. Dia membawa sebuah tali tambang yang dia gunakan untuk menggantung pakaian yang dia cuci. Sekarang pikiran gilanya membuat jalan keluar paling mudah dengan benda itu.

Apa yang bisa kuharapkan lagi?

Changkyun mengikat tali ke pinggangnya, dan juga Jooyeon di dalamnya. Di ujung yang lain dia mengikatkan ke batu besar. Batu itu dia peluk di dada bersama Jooyeon. Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat dan melelahkan. Jooyeon menangis keras, meronta-ronta.

Changkyun tidak tahu apa yang dia pikirkan. Dia sudah mati.

"Kita akan bertemu ayah," bisik Changkyun lagi. Kali ini dengan keteguhan sesat.

Ada bayangan mengerikan yang membayangi setiap langkah Changkyun. Dia ketakutan, sangat, ditambah tangis Jooyeon yang semakin membuatnya gelisah.

Ini gila. Tapi Changkyun tidak akan mampu mempertahankan kewarasannya jika setiap hari Delilah akan muncul mengusik hidupnya yang sudah berantakan dengan iming-iming kehidupan. Ya, Changkyun yakin hari ini bukan kedatangan terakhir Delilah untuk membujuknya. Perempaun itu memiliki sihir untuk meracuni Changkyun, menunggu dengan sabar, mengejar dengan teliti, kemudian melumpuhkan.

Selama hidupnya di Egory, Changkyun biasa menyaksikan Delilah memenangkan pertarungan. Dia melempar dadu dengan congkak, tapi putaran dadu belum benar menghianatinya. Jikapun itu terjadi, dia memiliki ratusan cara untuk memutar balik peraturan yang berlaku dalam permain. Mengambil jalan memutar untuk memenangkannya sekaligus. Itulah Delilah, dan Changkyun bisa membayangkan hari-hari yang akan datang.

Bisikan dan cerita ibunya menari-nari dengan bringas. Changkyun merasa kecil dan lemah. Apa ini adalah karma dari penghianatan yang dia lakukan pada ibunya? atau ini adalah kutukan yang ibunya berikan pada Changkyun?

Pelukannya pada tubuh mungil Jooyeon semakin mengerat. Dia mendaratkan kecupan lembut di pipi putranya sebelum mengambil langkah lagi. Udara dingin berhasil membuat tulangnya terasa ngilu, tapi rasa sakit di ulu hatinya semakin tidak tertahankan.

"Kita akan bertemu ayah."

Air menelan dada Changkyun. Kakinya terasa sakit. Di dadanya Jooyeon telah terdiam, lelah menangis atau mungkin lemas. Changkyun terisak, mencibir dirinya yang pengecut.

"Aku tidak bisa," lirih Changkyun. "Aku tidak bisa hidup tanpamu hyung." Dia mengatakannya dengan pilu. Menatap langit keperakan oleh cahaya bulan yang polos dan murni.

"Jika dosaku terlalu banyak untuk mendapatkan hidup yang baik, maka dosaku yang ini tidak akan merubah apa-apa bukan?"

Angin berdesir dengan udara dingin. Daun-daun kering berjatuhan ke atas danau. Dalam kondisi lain, Changkyun akan memuji betapa indah pemandangan yang dia lihat. Air danau terlihat keperakan dan daun kemerahan jatuh di atasnya untuk menimbulkan riak lembut.

Tidak apa. Mari kita akhiri dengan cara seperti ini.

-

-

-

-

yuhuuuu, saya balik lagi. 


(Miracle) Incredible [End]Where stories live. Discover now