13. Keputusan

6.2K 491 5
                                    

Danu Aji Putrasena

Asti berjalan dengan cepat di depanku, ketukan high heels yang dikenakannya begitu bergaung di dalam butik. Aku tahu dia amat marah atas apa yang baru saja aku sampaikan pada Chandra. Aku mengekorinya sampai masuk ke dalam ruang kerja, Asti lalu menutup pintu dengan sedikit membantingnya.

“Mas pikir itu lucu?” teriaknya, “Mas pikir aku bisa toleransi candaan kamu? Pake bawa-bawa Ibu sama Bapak segala lagi!” Asti melipat tangan di dada.

“Siapa yang bercanda? Kamu masih pikir kalau aku bercanda?”

“Nggak lucu, Mas! Gara-gara mulut Mas Danu aku mungkin akan berantem sama Chandra!” bahu Asti terlihat naik turun untuk mengatur emosinya.

Aku mencengkeram kedua bahu Asti sebagai tanda bahwa saat ini aku sedang tidak bercanda. “As, lihat mas baik-baik! Apa kamu masih menganggap tatapan mas sekarang ini main-main sama kamu?” serangku.

Asti langsung melepaskan cengkeramanku dan mundur perlahan. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, yang aku lihat Asti menatapku dengan penuh amarah. Mungkin saat ini dia sudah benar-benar muak denganku, terbukti dari sikapnya yang sekarang membelakangiku.

“As, semua ucapanku itu serius. Kalau kamu nggak percaya kamu bisa tanya Bapak atau Ibu, mereka sudah jodohin kita.”

“Tinggalin aku sendiri Mas!” titahnya.

“As—”

“Aku nggak mau debat lagi. Sebelum aku tambah benci sama Mas Danu sebaiknya Mas pergi aja!”

Aku mendengar getaran dari nada suara yang Asti ucapkan. Apa mungkin sekarang dia menangis? Rasa bersalah langsung mengungkung. Seumur-umur hidup bersama Asti sebagai saudara laki-lakinya, belum pernah aku membuatnya menangis seperti ini. Bahkan saat kami berdua masih kecil pun, aku sangat berhati-hati dalam memperlakukan Asti. Alasannya apalagi kalau bukan karena rasa terima kasih pada orang tuanya yang sudah sudi mengangkatku menjadi anak mereka dan sudah mau direpotkan dengan segala jenis biaya sekolah dan kebutuhan hidup yang seharusnya bukan menjadi tanggungan mereka. Jadi mana bisa aku tega menyakiti bahkan melukai Asti? Sedikit pun aku tidak berani.

Tapi apa yang terjadi sekarang? Aku malah membuatnya menangis! Mungkin bukan kali ini saja dia menangis karena aku, bisa saja sejak pertama dia mendengar tentang rencanaku menikahinya Asti sudah menangis.

“Maafin mas, ya.”

Tak ada jawaban keluar dari mulutnya bahkan saat aku melangkah keluar dan menutup pintu.

OOOO

Begitu aku keluar dari ruang kerja Asti, aku sudah disambut tatapan penasaran dari para karyawan butik juga beberapa pengunjung di sana. Aku lupa bahwa kejadian heboh tadi juga turut disaksikan oleh mereka. Tidak mau jadi bahan omongan mereka, aku memilih kabur dari sana saat melihat sosok Yuli mendekat. Asti sudah pernah memberitahu bahwa sifat kepo Yuli itu sudah berada di level akut, dan kalau satu pertanyaan sudah meluncur dari mulutnya akan beranak pinak menjadi ribuan pertanyaan lainnya.

Aku tidak mau jadi bahan interogasi oleh orang yang sama sekali tidak ada urusannya dengan masalah ini. Begitu aku membelokkan kemudi ke arah jalan protokol, telepon masuk dari Bapak yang menyuruhku untuk segera pulang. Perasaan tidak enak langsung menyelimuti.

Benar saja sesampainya di rumah, Bapak dan Ibu sudah terlihat duduk menunggu di teras rumah. Mungkin berita tentang aku bertengkar dan membuat Asti menangis sudah sampai ke telinga mereka.

“Tadi Asti telepon ke rumah, dia tanya soal perjodohan kalian sambil nangis-nangis. Katanya kalian ribut di butik apa iya, Nu?” tanya Bapak.

Aku mengangguk pasrah. “Iya, Pak. Tadi si Chandra ke butik ya sudah saya sekalian kasih tahu kalau saya itu calon suaminya Asti.”

“Terus Asti nya gimana?”

“Ya seperti yang Bapak tahu, dia marah terus nangis. Dia masih nggak percaya sama omongan saya. Dia pikir saya bercanda, begitu saya yakinkan dia malah ngambek dan ngusir saya dari butik.” Bukan maksudku untuk mengadu pada Bapak dan Ibu, aku hanya menceritakan apa yang terjadi di butik tadi.

“Dia masih kaget sama perjodohan ini makanya dia bersikap begitu. Kamu sabar ya, Nu.”

“Sebenarnya bukan cuma dia yang kaget dengan perjodohan ini, Bu, tapi Danu juga. Danu masih belum bisa yakin seratus persen kalau nanti Danu akan menikah dengan Asti. Danu masih belum bisa cinta sama Asti selayaknya pada calon istri. Maafin Danu Bu, Pak.”

Ibu dan Bapak saling pandang. Lalu Ibu menghampiri dan mengelus rambut ikalku, sebuah kegiatan yang amat aku sukai sejak dulu. Bisa aku rasakan limpahan kasih sayang yang Ibu curahkan untukku begitu tulus adanya. Jadi mana mungkin aku bisa menolak permintaan wanita yang begitu aku sayangi setelah almarhumah ibu kandungku itu? aku tak kuasa membuat beliau kecewa dan merasa sia-sia sudah membesarkanku hanya karena aku menolak untuk menikahi anak gadis satu-satunya itu.

Ndak apa, Nang. Nanti juga kamu akan terbiasa dengan status kalian berdua itu. Alon-alon asal kelakon. Ibu yakin suatu saat nanti kamu akan bisa menerima Asti sebagai calon istri kamu sepenuhnya.”

Witing tresno jalaran soko kulino. Masih ingat pepatah itu to, le? Pepatah orang jawa dulu itu nggak sembarangan, lho. Sakral. Dan masih terbukti ampuh sampai sekarang.” Bapak menimpali.

“Maaf kalau kami terkesan memaksa dan menekan kamu untuk mau menikahi Asti, tapi semua harapan kami ada sama kamu. Semua kriteria calon suami ideal untuk Asti yang kami mau kamu punya semua. Cuma kamu yang cocok untuk mendampingi Asti, Ibu nggak mengharapkan orang lain lagi.”

Mendengar menuturan Ibu kembali membuatku menelan semua kalimat penolakan yang tadi sempat ingin aku utarakan. Demi Tuhan, aku tidak pernah sanggup menolak permintaan Ibu. Semua ucapannya serupa sabda yang harus aku lakukan suka ataupun tidak. Aku teramat menyayangi Ibu Astuti dengan seluruh jiwa dan ragaku.

“Danu akan berusaha, Bu. Ibu dan Bapak jadi saksi, mulai hari ini Danu sudah ikhlas menerima Asti sebagai calon istri Danu. Danu akan berusaha mencintai Asti dengan tulus dan Danu nggak akan mengecewakan harapan Bapak dan Ibu.”

Dan setelahnya bayangan wajah Anggun kembali muncul di pelupuk mata. Mungkin ini solusi dari Tuhan atas kebimbanganku selama ini tentang bagaimana caranya aku bisa melupakan Anggun yang sudah hidup di hati selama tujuh tahun terakhir ini.

Mungkin, berusaha mengganti seseorang yang sudah tujuh tahun mendampingi dengan yang sudah hidup bersama selama dua puluh tahun akan menjadi jalan keluar terbaik dari kungkungan patah hati yang kian hari kian menyiksaku. Walau sampai detik ini aku masih belum yakin apakah aku bisa mengubah rasa cintaku sebagai saudara menjadi rasa cinta terhadap lawan jenis kepada Asti, tapi demi kebahagiaan Ibu aku akan berusaha. Ya, sudah kukatakan semua ini demi Ibu dan hanya demi Ibu.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now