25. Bukit Bintang

6.1K 492 4
                                    

Pinasti Rara Anjani

“Mas, aku lapar,” ucapku setelah entah berapa lama kami hanya keliling Jogja untuk menungguku bisa menguasai diri. Setelah capek menangis, yang terjadi selanjutnya adalah perasaan yang lebih plong serta perut yang keroncongan pula.

“Sebentar, aku cari tempat makan dulu,” serunya lantas membelokkan arah laju motor entah ke mana.

Selama kami berkeliling tadi, sesungguhnya aku tidak tahu ke mana saja motor Mas Danu diarahkan. Selain sedang tidak tertarik untuk melihat pemandangan Kota Yogyakarta di malam hari dengan suasana hati sedang keruh seperti ini, aku juga sibuk menyembunyikan wajahku yang kacau balau karena tercampurnya make up, air mata dan keringat. Entah seperti apa bentuk rupaku sekarang kalau tidak ditutupi leather jaket milik Mas Danu.

Lambat laun, motor mulai terparkir dengan apik dan Mas Danu menyuruhku untuk turun. Aku yang hampir ketiduran karena lelah hati serta lelahnya perjalanan, langsung terbelalak begitu menyadari tempat makan mana yang dipilih Mas Danu kali ini.

Kami berada di Bukit Bintang Pathuk Yogyakarta! Mulutku ternganga mengetahui hal itu. Sejauh ini Mas Danu membawaku berkeliling hanya untuk membuat perasaanku lebih membaik? Memang tadi sepulang dari tempat Chandra aku bilang tidak mau pulang ke rumah dulu karena ingin mencari udara segar dan Mas Danu pun menyanggupi permintaanku dengan membawa motornya berkelana untukku, tapi tidak kusangka akan sejauh ini. Sebetulnya, tidak terlalu jauh juga hanya menurutku cukup jauh dari rumahku di pusat kota.

“Yuk,” ajaknya yang melihatku masih terbengong-bengong di tempat.

“Kenapa ke sini Mas? Aku pikir kita mau ke Malioboro aja.”

“Malioboro udah biasa, bosan aku nongkrong di sana terus. Sekali-kali kita main agak jauh. Lagian tempat ini cocok buat kamu, katanya mau cari udara segar. Yuk.” Mas Danu melangkah mendahuluiku.

“Aku ke toilet dulu, Mas.” Aku bergegas mencari toilet untuk memperbaiki riasanku yang sudah amburadul itu sebelum akhirnya bergabung bersama Mas Danu.

OOOO

Pilihan Mas Danu mengajakku ke tempat ini memanglah keputusan yang tepat. Ngopi dan makan sambil menikmati pemandangan lautan kerlap-kerlip lampu kota dari atas bukit sungguh bisa membantu meringankan perasaanku. Terpaan angin malam yang dingin juga seolah membantu menyadarkanku bahwa dunia ini masih belum berakhir hanya karena hubunganku kandas begitu saja.

Pemandangan malam yang indah di depan mata membuatku percaya bahwa masih banyak hal indah di luar sana yang bisa membuatku jauh lebih bahagia jika dibandingkan dengan bersama Chandra. Langit juga belum runtuh ternyata. Saat ini yang harus aku lakukan adalah kembali menata kepingan hati yang berserakan dan melepaskan diri dari bayang-bayang Chandra. Aku harus bisa move on secepatnya agar bayangan serta kenangan tentangnya tidak terus menghantui pikiranku. Aku pasti bisa.

“Hey, mikirin apa?” suara lembut Mas Danu menginterupsi lamunanku.

Aku menggeleng pelan. “Nggak ada. Cuma sedang mencoba menata hati lagi aja,” jawabku lesu.

“Semangat, ya. Kamu pasti bisa melewati semua ini.”

“Makasih ya, Mas. Tadi udah datang untuk aku.”

“Iya.” Mas Danu melakukannya lagi. Dia memegang kepalaku dan mengusap keningku dengan ibu jarinya lembut. Itu membuat aku ingat bahwa aku masih punya dia di sampingku. Orang yang akan selalu menjagaku.

“Aku sampai lupa tanya, kok Mas Danu bisa tahu aku ke tempat Chandra?”

“Tadi sore aku sengaja ke butik buat nganterin kamu jadah tempe, kebetulan aku habis dari Kaliurang ngecek lokasi pembangunan vila. Aku mau bagi sama kamu dan karyawan butik, tapi ternyata kamu malah pergi kata Yuli. Filingku sih kamu ke mana lagi kalau bukan buat labrak Chandra.”

“Itu motor dapat dari mana? Bukan punya Mas, kan? duit Mas kan habis buat beli ruko.” Aku mengalihkan pembicaraan karena aku sedang tidak mau diceramahi oleh Mas Danu karena akan panjang urusannya. Gaya mengomelnya sama seperti gaya mengomel Ibu jika sedang memarahiku.

“Emang bukan. Itu motor Sigit tak pinjam. Tadinya cuma pinjam buat ke Kaliurang, tapi malah keterusan sampai sekarang.” Mas Danu nyengir kuda di depanku lalu menyeruput kopi hitamnya lagi.

“Kalau Mas Sigit nyariin gimana? Kok Mas Danu nggak bilang sih. Tahu gitu kita nggak usah jauh-jauh ke sini. Pulang sekarang aja yuk.” Aku sudah sibuk memasukkan ponsel ke tas tapi tangan Mas Danu mencegahku untuk bangkit dari duduk.

“Udah, Sigit nggak usah kamu pikirin. Dia orang baik, pasti nggak akan marah kalau motornya aku pinjam lama terus ngabisin bensinnya. Yang penting sekarang itu kamu. Kamu gimana, apa udah baikan?”

“Yang pasti aku mau move on secepatnya, biar Chandra tahu kalau dia bukan apa-apa buatku.”

“Wah, bagus itu. Ini baru Asti yang Mas kenal. Pokoknya pulang dari sini kamu harus bisa melupakan semuanya, udah cukup Mas lihat kamu nangis gara-gara si Chandra dan sekarang lebih baik kita fokus sama tugas kita aja.”

“Tugas apa?” keningku mengernyit.

Mas Danu kembali meraih tanganku dan menggenggamnya cukup erat. Aku terperanjat dan ingin melepaskan diri, tapi kehangatan yang melingkupi tanganku terlalu nyaman untuk diabaikan.

“Saling meyakinkan diri bahwa perjodohan ini bukan cuma kemauan orang tua tapi juga karena kita memang sudah ditakdirkan untuk saling membahagiakan satu sama lain. Dua orang yang pernah tersakiti pasti bisa saling menyembuhkan.”

Hawa hangat yang Mas Danu tularkan melalui genggaman tangannya itu pelahan merambat menuju inti hati begitu aku mendengar ucapannya. Angin malam yang berembus seolah menampar-nampar wajahku dan membuatku tersadar bahwa laki-laki yang sedang duduk di hadapanku dan menggenggam tanganku ini begitu tulus dengan perkataannya tadi, terbukti dengan tatapan matanya yang intens dan lurus hanya menatap ke arahku. Memaksaku untuk percaya dan tidak menghindar lagi kali ini.

“Apa Mas yakin kalau kita akan berhasil?” tanyaku ragu.

“Aku yakin bahwa pilihan orang tua kita pasti nggak akan salah. Mereka pasti tahu apa yang terbaik untuk kita. Sekarang tinggal kamunya gimana?”

“Apa ini nggak terlalu cepat, Mas?”

“Aku nggak maksa kamu kok, As. Kamu bisa mulai pelan-pelan dan selama kamu meyakinkan diri, aku akan berusaha membuat kamu untuk jatuh cinta sama aku.”

Entah bagaimana rupaku sekarang. Aku berharap Mas Danu tidak melihat wajahku yang sepertinya sudah merah padam seperti abege yang habis digombalin. Percayalah, saat ini perasaanku tak karuan rasanya.
Antara ingin menolak tapi juga ada dorongan yang membuatku harus menerimanya kali ini. Menerima bahwa perjodohan kami itu fakta adanya dan mulai menerima bahwa Mas Danu adalah sosok calon pendamping terbaik yang dipilihkan orang tuaku.

Genggaman Mas Danu makin erat dan hangat kurasa bersamaan dengan terbitnya senyum cerah khas yang dia punya. Mungkin aku sudah gila atau mataku yang sudah siwer, tapi kali ini aku bisa melihat sosok Mas Danu dengan cara berbeda. Dia bukan lagi kakak sepupuku, melainkan calon suamiku sekarang.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now