2. Jawaban

15.1K 823 11
                                    

Danu Aji Putrasena

Ponselku terus berbunyi saat aku dan tim kerja sedang mengadakan meeting untuk mendiskusikan maket sebuah hotel bintang lima yang akan dibangun di Bali. Sekilas aku meliriknya dan tertera nama Asti di sana berikut foto anak itu yang sedang tersenyum manis. Sejenak keruwetan kerja karena perbedaan pandangan dengan beberapa rekanku soal model maket itu sirna setelah melihat wajah manis itu menghiasi layar utama ponselku.

“Nu, fokus dulu dong. Pacaran kan bisa nanti!” instruksi Mas Arif padaku, mungkin dia melihat raut wajahku yang tersenyum-senyum sendiri menatap layar ponsel.

“Adek gue, siapa yang pacaran sih?” aku menyanggahnya lalu memutus telepon darinya. Nanti aku akan meneleponnya balik setelah selesai rapat.

Tapi bukan Asti namanya kalau dia menyerah begitu saja, sekali lagi ponselku berdering dan menginterupsi ucapan Mas Arif yang sedang berdebat dengan Dika. Semua yang ada di ruangan itu secara otomatis melirik ke arahku dengan tatapan kesal.

Aku buru-buru mematikan ponsel dan mengubahnya menjadi mode getar lalu memasukkan benda kotak itu ke dalam kantong celana.

“Aman sekarang,” ucapku pada Mas arif dan yang lainnya.

Meskipun Asti meneleponku lagi, kali ini dia tidak akan mengganggu jalannya rapat karena sudah kuamankan di dalam kantong celana dan aku bisa kembali berkonsentrasi dengan bahasan rapat.

Begitu selesai dengan meeting hal pertama yang aku lakukan sebelum kembali ke meja kerja tentu saja menghubungi adikku itu. Kangen juga mendengar suara bawelnya. Lama tak ada yang mengangkat sampai akhirnya terputus sendiri. Kucoba sekali lagi menghubunginya.

“Ke mana aja sih, Mas? Diteleponin dari tadi nggak diangkat-angkat lagi. Mana tadi sempat di-reject lagi telepon aku!” semburnya dengan suara menggelegar.

Aku otomatis terkekeh mendengar rentetan omelannya di ujung telepon sana. Adikku itu kalau sudah ngomel mirip petasan banting. Salah satu yang aku rindukan selain rumah, Ibu, Bapak dan Yogyakarta tercinta.

“Iya sorry, tadi lagi meeting.”

“Ya, kan bisa angkat sebentar bilang nanti telepon balik gitu.”

Aku menggaruk kepalaku. “Iya maaf-maaf, emang kamu ada apa telepon mas? Kayak yang penting banget?”

“Nggak ada apa-apa sih, cuma mau tanya ada rencana pulang nggak? Soalnya Ibu udah nanyain. Sama kalo bisa ajak Mbak Anggun sekalian,” serunya lagi.

“Belum tahu. Soalnya lagi banyak proyek di sini.” Senyumku langsung terkembang mendengar Ibu dan Bapak menanyakan soal Anggun.

“Terus jadi ngelamar Mbak Anggun-nya?”

“Jadi, pulang kantor aku mau ketemuan sama dia. Doain diterima ya, biar nanti mas bisa ajak dia pulang ketemu Bapak dan Ibu.”

“Pastilah aku doain biar Mas Danu cepat-cepat nikah, punya istri biar aku ada yang belain kalo digangguin Mas Danu.”

Aku kembali tersenyum. “Amin ....”

OOOO

Saat ini aku sudah sampai di cafe tempat aku berjanji akan bertemu dengan Anggun kekasihku. Seperti rencana yang sudah aku sampaikan pada Asti bahwa malam ini aku akan melamarnya dan memintanya untuk menjadi istriku. Kami sudah berpacaran tujuh tahun lamanya semenjak kuliah, waktu yang sudah sangat pantas untuk mengakhiri petualangan kami mengenal satu sama lain dan meresmikannya dengan ikatan suci pernikahan.

Ada beberapa faktor yang membuatku akhirnya maju untuk berani melamarnya. Selain aku mencintainya, aku juga sudah terbilang mapan dan faktor usia kami yang semakin bertambah jika aku tidak segera memintanya menjadi istri. Aku sudah siap untuk menjadi imamnya dan aku juga sudah siap untuk menjaga dan mencintainya seumur hidup.

Sosok wanita tercantik yang pernah aku temui itu akhirnya datang juga, dia tampak cantik malam ini seperti biasa.

Sorry aku telat, udah pesan?” tanyanya sambil menaruh tas di kursi yang lain.

Aku menggeleng. “Belum, aku nungguin kamu,” jawabku yang berusaha menyembunyikan rasa gugup dan cengiran yang tak bisa menghilang dari bibirku.

“Kenapa senyum-senyum, sih? ada yang aneh sama mukaku, ya?” Anggun menyentuh wajahnya dan segera merogoh tas mencari cermin.

“Kamu cantik kok. Nggak ada yang aneh sama kamu.” Aku berusaha membuatnya tidak berpikir yang macam-macam.

“Terus kamu kenapa senyum-senyum sendirian?” selidik Anggun lagi.

“Soalnya malam ini kamu cantik,” jawabku dan langsung membuat Anggun merekah senyumnya.

“Oh ya, Nggun. Aku ajak kamu ketemu di sini soalnya ada yang mau aku omongin sama kamu dan ini menyangkut soal hubungan kita.” Aku langsung menggenggam tangannya yang halus.

“Kamu jangan bikin aku takut dong, Nu. Emang ada apa, sih?” bisa aku baca raut wajah Anggun yang tegang.

“Kita kan udah lama pacaran dan aku rasa sudah cukup waktu untuk kita saling mengenal. Aku mau hubungan kita ini berlanjut ke arah yang lebih serius lagi, aku mau kamu jadi istriku, Nggun.” Aku mengucapkan semua kalimat itu dengan satu tarikan napas dan penuh keyakinan. Semua yang aku rasakan untuk Anggun adalah nyata dan tidak pernah ada yang bisa menggoyahkannya. Aku mantap untuk melamarnya.

Kulihat Anggun hanya terdiam dan genggaman tangan kami terlepas tiba-tiba. Anggun menarik tangannya dan menundukkan kepala seperti berpikir. Ya, aku tahu ini sangat mendadak untuknya. Wajar jika Anggun kaget dengan rencana gilaku ini.

“Kamu sudah pikirin matang-matang?” tanyanya setelah terdiam cukup lama.

“Aku sudah memikirkannya sejak lama. Nggak ada lagi alasan untuk kita tetap pacaran selain pernikahan, Nggun. Aku sudah mantap dengan niatanku untuk menikahi kamu,” ucapku tanpa keraguan sedikit pun.

“Tapi aku nggak bisa, Nu,” jawabnya yang membuat telingaku berdengung. “Aku nggak bisa menerima lamaran kamu dan aku belum mau menikah dengan kamu.”

“Kenapa, Nggun? Aku pikir kamu mencintai aku?” sungguh aku ingin mengeluarkan kalimat lainnya tapi lidahku kelu.

“Aku cinta sama kamu, tapi untuk menikah sekarang aku nggak bisa. Aku baru akan dipromosikan jadi manajer, nggak mungkin aku langsung menikah sekarang. Paling nggak dua atau tiga tahun lagi aku baru bisa.” Tangan Anggun terulur mengusap pipiku meminta pengertian, tapi aku sama sekali tak bisa mengerti.

“Jadi kamu lebih memilih karir kamu?” aku mencoba memastikan bahwa pilihan Anggun itu tetap sama.

“Nu, kamu kan tahu passion aku dari dulu. Ini impian aku sejak lama dan sekarang tinggal selangkah lagi meraih impianku masa kamu nggak mau dukung, sih?”

“Nggak bisa dipertimbangkan apa, Nggun? Ini juga demi masa depan kita, lho. Nanti kalo kita menikah kamu bisa kejar impian kamu lagi.” Aku masih berusaha untuk membujuk Anggun agar mau memikirkan kembali pilihannya itu.

“Kalau aku nggak ambil sekarang dan lebih memilih menikah, bisa-bisa kesempatan ini nggak akan datang dua kali dalam hidupku, Nu!” aku bisa mendengar nada suara Anggun yang meninggi.

“Jadi kalau aku tetap mau kita menikah sekarang apa keputusan kamu?” tantangku.

“Kalau kamu tetap maksa supaya kita menikah sekarang, terpaksa aku akhiri hubungan kita. Bukannya aku egois, tapi saat ini aku mencoba untuk menggapai cita-citaku sejak lama dan aku nggak akan berhenti walaupun kamu halangi.”

Mendengar semua perkataan Anggun yang seolah tak mementingkan hubungan kami yang sudah terjalin selama bertahun-tahun ini membuat hatiku sakit luar biasa. Aku tak menyangka bahwa Anggun lebih memilih mengakhiri hubungan kami segampang itu daripada merelakan cita-citanya dan yang lebih membuatku sakit adalah tidak adanya air mata atau gurat kesedihan di mata indahnya saat dia mengucapkan kata perpisahan denganku.

Apa aku sebegitu tak berartinya di mata Anggun sampai dia bisa dengan gampangnya merelakan aku begitu saja? apa tidak ada kenangan indah yang aku torehkan di hatinya sampai membuatku begitu tak berharga dibanding impiannya selama ini? Tiba-tiba saja aku merasa seperti seorang laki-laki yang tak berguna karena tidak bisa membuatnya bahagia selama berpacaran denganku.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Onde histórias criam vida. Descubra agora